Pentingnya Pendidikan Dalam Sejarah Kemerdekaan
Indonesia
Sejak
zaman penjajahan, Indonesia sudah memiliki gagasan kemerdekaan. Namun gagasan
kemerdekaan tersebut masih bersifat kedaerahan dan biasanya ditempuh dengan
cara “kekerasan” yakni berperang melawan penjajah. Tidak mengherankan gagasan
kemerdekaan itu dengan mudah digagalkan oleh penjajah selama beratus-ratus
tahun. Namun sejak tanggal 20 Mei 1908 dengan didirikannya Budi Utomo, arah
gagasan kemerdekaan mengambil pola yang berbeda. Para pendiri Budi Utomo
melihat bahwa gagasan dan gerakan kemerdekaan sesungguhnya harus dimulai dengan
pendidikan yakni mengutamakan budi.
Pendidikan
yang membebaskan inilah yang kemudian berkembang, lalu membuat para pemuda
memiliki gagasan Negara Kebangsaan Indonesia lewat Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928, ketika seluruh pulau di Nusantara ini didaulat menjadi satu
bangsa, satu tumpah darah, dan satu bahasa yakni Indonesia. Hanya dalam waktu
20 tahun, pendidikan dengan gagasan kemerdekaan dan gerakan kemerdekaan
menemukan jalannya, yaitu dalam kebersamaan atau persatuan, maka kemerdekaan
itu bisa diraih.
Akhirnya
17 tahun setelah Sumpah Pemuda, lahirlah Negara Kebangsaan Republik Indonesia
ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945. Hanya dalam waktu 37 tahun, Indonesia bisa merdeka dengan mengutamakan
cara kerja budi atau pendidikan.
Peristiwa
berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia ini, tidak terlepas dari
pentingnya pendidikan kebangsaan yang dikembangkan dalam berbagai organisasi
masyarakat sejak Budi Utomo sampai dengan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus
1945. Kenyataan historis peran pendidikan yang memerdekakan bangsa Indonesia
merupakan sebuah tonggak sejarah yang tidak bisa dilupakan sampai sekarang ini.
“Pendidikan kebangsaan” merupakan sebuah keharusan dalam memperjuangkan kemerdekaan
dan mengisi kemerdekaan.
Pendidikan Kebangsaan
Pendidikan
kebangsaan umumnya berbicara tentang pentingnya peranan negara atau bangsa
dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana dipelajari hal-hal yang berhubungan
dengan dasar negara, tujuan bernegara, nasionalisme, etika bernegara, identitas
nasional dan sebagainya. Tujuan pendidikan kebangsaan umumnya menyadarkan
masyarakat akan pentingnya peranan negara dalam kehidupan masyarakat dan
mengajak masyarakat untuk melibatkan diri secara aktif dalam membangun bangsa
dan negara.
Bagi
kita di Indonesia pendidikan kebangsaan harus berdasarkan pada Pancasila dan
UUD 1945 dan diarahkan untuk meraih tujuan NKRI. Tujuan NKRI tertera dalam UUD
1945 alinea keempat yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan
keadilan sosial. Ketika keempat tujuan NKRI tersebut tercapai itu berarti pendidikan
kebangsaan kita berhasil.
Namun
akhir-akhir ini, kita diguncang oleh berbagai isu yang menunjukkan lemahnya
praksis pendidikan kebangsaan dalam kehidupan berbangsa. Aksi-aksi seperti korupsi, penggunaan
sentimen rasial untuk memperoleh kursi kekuasaan memerintah, terorisme dan
berbagai bentuk kegiatan fundamentalisme, merupakan akibat dari lemahnya peran
pendidikan dalam membangun nilai-nilai wawasan kebangsaan. Ada banyak alasan
yang membuat aksi-aksi kejahatan dalam kehidupan bernegara tersebut muncul,
misalnya pengaruh globalisasi, ketidakadilan sosial, ajaran fundamentalisme dan
sebagainya. Namun harus disadari bahwa semua hal tersebut hanya bisa diatasi
kalau kita memiliki pendidikan wawasan kebangsaan yang mengayomi nilai-nilai
kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.
Gereja Katolik dan Pendidikan Kebangsaan
Indonesia
Sebagai
orang Katolik di Indonesia , mungkin kita sudah sering mendengarkan semboyan
ini: 100% Indonesia dan 100% Katolik. Mgr Soegijapranata,
SJ, mencanangkan ide tersebut dengan tujuan sederhana yakni mengajak orang
Indonesia yang Katolik, menjadi Gereja
Katolik Indonesia.
Mengapa
Gereja Katolik Indonesia? Jawabannya sederhana: karena nilai-nilai kekatolikan
itu juga sudah ada dalam masyarakat bangsa Indonesia. Nilai-nilai kekatolikan itu sudah
ada dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945 seperti percaya kepada Tuhan,
penghormatan dan penghargaan atas kemanusian, penghormatan atas identitas
nasional, dan demokrasi yang dibangun di
atas kebenaran dan keadilan sosial. Tidak mengherankan apabila Mgr. Ignasius
Suharyo dalam Arahan Dasar KAJ mengangkat tema “Amalkan Pancasila”
supaya umat Katolik KAJ yang juga warga negara Indonesia memahami, merenungkan,
dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila tersebut yang juga
merupakan nilai-nilai kekatolikan kita dalam pendidikan kebangsaan kita.
Dalam
Surat Gembala mengawali Tahun Persatuan (2018) “Kita Bhinneka-Kita Indonesia”,
Mgr. Ignatius Suharyo bertanya: “Apa yang harus kita lakukan agar kita dapat
mengalami penampakan Tuhan dalam hidup kita bersama sebagai warga Gereja KAJ yang adalah persekutuan
murid-murid Yesus dan sebagai warga negara Indonesia?” Pertanyaan ini
dijawab dalam kalimat berikutnya : “Salah satu cara untuk merawat ingatan
bersama dan mewujudkan tanggung jawab sejarah adalah dengan mengamalkan Pancasila”.
Selanjutnya
dalam surat gembala yang sama dinyatakan: “Dalam semboyan “Kita Bhinneka-Kita
Indonesia”, terkandung berbagai macam gagasan.
Kita ingin agar berbagai macam gagasan itu diterjemahkan menjadi gerakan yang membaharui kehidupan.
Kalau gerakan-gerakan ini dilakukan secara terus menerus dan konsisten, akan
terbentuklah habitus baru, yaitu cara merasa, cara berpikir, cara bertindak
dan berperilaku baru, baik dalam tataran pribadi maupun bersama, dalam
keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas”
Berbicara
tentang gagasan yang
ditransformasikan dalam gerakan
pembaharuan sehingga terbentuklah habitus
baru merupakan esensi dari pendidikan, termasuk “Pendidikan
Kebangsaan”. Bagaimana ‘gagasan’
kebangsaan Indonesia itu ditransformasikan dalam sebuah ‘gerakan pembaharuan’
yang didasarkan pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 bisa menciptakan ‘habitus
baru’ menuju tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam
Alinea 4 UUD 1945.
Mgr. Ignatius Suharyo, dalam bukunya “Catholic Way”, terbitan
Kanisius, 2010, menyatakannya dengan cara lain, bahwa seorang Warga Negara
Indonesia yang beragama Katolik, justru karena imannya, bergerak
melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat
Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan difabel. Sikap yang
ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala
jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk
mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera
bersama.
Bagi orang Katolik Indonesia, tokoh sentral praksis
pendidikannya adalah Yesus Kristus itu sendiri. Pada saat perjamuan terakhir
setelah membasuh kaki para muridnya Yesus berkata, “…sebab
Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama
seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Hukum utama dalam kehidupan sosial yang
diajarkan Yesus adalah cinta kasih. Cinta kasih itu diwujudkan dalam apa yang
disebut sebagai pekerjaan-pekerjaan belas kasih (the works of mercy). Pekerjaan-pekerjaan
belas kasih itu nyata dalam praksis memberi makan kepada mereka yang miskin,
memberi minum kepada mereka yang haus, memberi makan kepada mereka yang
telanjang, mengunjungi mereka yang dipenjara, memberikan penginapan bagi mereka
yang tidak punya rumah, mengunjungi mereka yang sakit (Lihat Yesaya 58:7 /
Injil Matius 25: 31-32, 34-40).
Kalau
ditanya bagaimana keterlibatan kita sebagai orang Katolik dalam Pendidikan
Kebangsaan Indonesia? Jawabannya
sederhana! Teruslah terlibat dalam perbuatan atau pekerjaan belas kasih seperti
yang Yesus ajarkan, yang juga sudah ada dalam konteks sosial masyarakat
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di manapun kita berada. Semua aksi
kejahatan sosial dalam kehidupan bernegara seperti kolusi, korupsi, nepotisme, fundamentalisme,
terorisme hanya dapat diatasi di negara ini kalau kita mengembangkan pendidikan
kebangsaan yang keluar dari pemberian hati (almsgiving) lewat
pekerjaan-pekerjaan belas kasih di mana pun kita berada seperti yang dilakukan
oleh Orang Samaria Yang Baik Hati.
Pendidikan kebangsaan bagi kita orang Katolik berarti kita
diajak untuk mengikuti Yesus dalam konteks masyarakat Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan berbagai bentuk perbuatan atau
pekerjaan belas kasih yang dibangun dari hati yang penuh kasih kepada seluruh
masyarakat Indonesia, terutama mereka yang miskin, tersingkirkan dan tidak
mampu. Hendaknya semua keterlibatan orang Katolik dalam berbagai kegiatan
ekonomi, politik dan kemasyarakatan di negara ini tidak pernah terlepas dari
pekerjaan belas kasih seperti yang Yesus ajarkan. Semoga!
Salam.
Benny Kalakoe.
No comments:
Post a Comment