Wednesday, February 12, 2020

PRAKSIS PENDIDIKAN KEBANGSAAN



Pentingnya Pendidikan Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Sejak zaman penjajahan, Indonesia sudah memiliki gagasan kemerdekaan. Namun gagasan kemerdekaan tersebut masih bersifat kedaerahan dan biasanya ditempuh dengan cara “kekerasan” yakni berperang melawan penjajah. Tidak mengherankan gagasan kemerdekaan itu dengan mudah digagalkan oleh penjajah selama beratus-ratus tahun. Namun sejak tanggal 20 Mei 1908 dengan didirikannya Budi Utomo, arah gagasan kemerdekaan mengambil pola yang berbeda. Para pendiri Budi Utomo melihat bahwa gagasan dan gerakan kemerdekaan sesungguhnya harus dimulai dengan pendidikan yakni mengutamakan budi.

Pendidikan yang membebaskan inilah yang kemudian berkembang, lalu membuat para pemuda memiliki gagasan Negara Kebangsaan Indonesia lewat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, ketika seluruh pulau di Nusantara ini didaulat menjadi satu bangsa, satu tumpah darah, dan satu bahasa yakni Indonesia. Hanya dalam waktu 20 tahun, pendidikan dengan gagasan kemerdekaan dan gerakan kemerdekaan menemukan jalannya, yaitu dalam kebersamaan atau persatuan, maka kemerdekaan itu bisa diraih.

Akhirnya 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, lahirlah Negara Kebangsaan Republik Indonesia ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Hanya dalam waktu 37 tahun,  Indonesia bisa merdeka dengan mengutamakan cara kerja budi atau pendidikan.

Peristiwa berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia ini, tidak terlepas dari pentingnya pendidikan kebangsaan yang dikembangkan dalam berbagai organisasi masyarakat sejak Budi Utomo sampai dengan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Kenyataan historis peran pendidikan yang memerdekakan bangsa Indonesia merupakan sebuah tonggak sejarah yang tidak bisa dilupakan sampai sekarang ini. “Pendidikan kebangsaan” merupakan sebuah keharusan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan.

Pendidikan Kebangsaan

Pendidikan kebangsaan umumnya berbicara tentang pentingnya peranan negara atau bangsa dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana dipelajari hal-hal yang berhubungan dengan dasar negara, tujuan bernegara, nasionalisme, etika bernegara, identitas nasional dan sebagainya. Tujuan pendidikan kebangsaan umumnya menyadarkan masyarakat akan pentingnya peranan negara dalam kehidupan masyarakat dan mengajak masyarakat untuk melibatkan diri secara aktif dalam membangun bangsa dan negara.

Bagi kita di Indonesia pendidikan kebangsaan harus berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dan diarahkan untuk meraih tujuan NKRI. Tujuan NKRI tertera dalam UUD 1945 alinea keempat yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Ketika keempat tujuan NKRI tersebut tercapai itu berarti pendidikan kebangsaan kita berhasil.

Namun akhir-akhir ini, kita diguncang oleh berbagai isu yang menunjukkan lemahnya praksis pendidikan kebangsaan dalam kehidupan berbangsa.  Aksi-aksi seperti korupsi, penggunaan sentimen rasial untuk memperoleh kursi kekuasaan memerintah, terorisme dan berbagai bentuk kegiatan fundamentalisme, merupakan akibat dari lemahnya peran pendidikan dalam membangun nilai-nilai wawasan kebangsaan. Ada banyak alasan yang membuat aksi-aksi kejahatan dalam kehidupan bernegara tersebut muncul, misalnya pengaruh globalisasi, ketidakadilan sosial, ajaran fundamentalisme dan sebagainya. Namun harus disadari bahwa semua hal tersebut hanya bisa diatasi kalau kita memiliki pendidikan wawasan kebangsaan yang mengayomi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Gereja Katolik dan Pendidikan Kebangsaan Indonesia

Sebagai orang Katolik di Indonesia , mungkin kita sudah sering mendengarkan semboyan ini: 100% Indonesia dan 100% Katolik. Mgr Soegijapranata, SJ, mencanangkan ide tersebut dengan tujuan sederhana yakni mengajak orang Indonesia yang Katolik, menjadi Gereja Katolik Indonesia.

Mengapa Gereja Katolik Indonesia? Jawabannya sederhana: karena nilai-nilai kekatolikan itu juga sudah ada dalam masyarakat bangsa Indonesia.  Nilai-nilai kekatolikan itu sudah ada dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945 seperti percaya kepada Tuhan, penghormatan dan penghargaan atas kemanusian, penghormatan atas identitas nasional, dan  demokrasi yang dibangun di atas kebenaran dan keadilan sosial. Tidak mengherankan apabila Mgr. Ignasius Suharyo dalam Arahan Dasar KAJ mengangkat tema “Amalkan Pancasila” supaya umat Katolik KAJ yang juga warga negara Indonesia memahami, merenungkan, dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila tersebut yang juga merupakan nilai-nilai kekatolikan kita dalam pendidikan kebangsaan kita.

Dalam Surat Gembala mengawali Tahun Persatuan (2018) “Kita Bhinneka-Kita Indonesia”, Mgr. Ignatius Suharyo bertanya: “Apa yang harus kita lakukan agar kita dapat mengalami penampakan Tuhan dalam hidup kita bersama sebagai warga Gereja KAJ yang adalah persekutuan murid-murid Yesus dan sebagai warga negara Indonesia?” Pertanyaan ini dijawab dalam kalimat berikutnya : “Salah satu cara untuk merawat ingatan bersama dan mewujudkan tanggung jawab sejarah adalah dengan mengamalkan Pancasila”.

Selanjutnya dalam surat gembala yang sama dinyatakan: “Dalam semboyan “Kita Bhinneka-Kita Indonesia”, terkandung berbagai macam gagasan. Kita ingin agar berbagai macam gagasan itu diterjemahkan menjadi gerakan yang membaharui kehidupan. Kalau gerakan-gerakan ini dilakukan secara terus menerus dan konsisten, akan terbentuklah habitus baru, yaitu cara merasa, cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku baru, baik dalam tataran pribadi maupun bersama, dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas”

Berbicara tentang gagasan yang ditransformasikan dalam gerakan pembaharuan sehingga terbentuklah habitus baru merupakan esensi dari pendidikan, termasuk “Pendidikan Kebangsaan”.  Bagaimana ‘gagasan’ kebangsaan Indonesia itu ditransformasikan dalam sebuah ‘gerakan pembaharuan’ yang didasarkan pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 bisa menciptakan ‘habitus baru’ menuju tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Alinea 4 UUD 1945.

Mgr. Ignatius Suharyo, dalam bukunya “Catholic Way”, terbitan Kanisius, 2010, menyatakannya dengan cara lain, bahwa seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katolik, justru  karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan difabel. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.

Bagi orang Katolik Indonesia, tokoh sentral praksis pendidikannya adalah Yesus Kristus itu sendiri. Pada saat perjamuan terakhir setelah membasuh kaki para muridnya Yesus berkata, “…sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Hukum utama dalam kehidupan sosial yang diajarkan Yesus adalah cinta kasih. Cinta kasih itu diwujudkan dalam apa yang disebut sebagai pekerjaan-pekerjaan belas kasih (the works of mercy). Pekerjaan-pekerjaan belas kasih itu nyata dalam praksis memberi makan kepada mereka yang miskin, memberi minum kepada mereka yang haus, memberi makan kepada mereka yang telanjang, mengunjungi mereka yang dipenjara, memberikan penginapan bagi mereka yang tidak punya rumah, mengunjungi mereka yang sakit (Lihat Yesaya 58:7 / Injil Matius  25: 31-32, 34-40).

Kalau ditanya bagaimana keterlibatan kita sebagai orang Katolik dalam Pendidikan Kebangsaan Indonesia?  Jawabannya sederhana! Teruslah terlibat dalam perbuatan atau pekerjaan belas kasih seperti yang Yesus ajarkan, yang juga sudah ada dalam konteks sosial masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di manapun kita berada. Semua aksi kejahatan sosial dalam kehidupan bernegara seperti kolusi, korupsi, nepotisme, fundamentalisme, terorisme hanya dapat diatasi di negara ini kalau kita mengembangkan pendidikan kebangsaan yang keluar dari pemberian hati (almsgiving) lewat pekerjaan-pekerjaan belas kasih di mana pun kita berada seperti yang dilakukan oleh Orang Samaria Yang Baik Hati.

Pendidikan kebangsaan bagi kita orang Katolik berarti kita diajak untuk mengikuti Yesus dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan berbagai bentuk perbuatan atau pekerjaan belas kasih yang dibangun dari hati yang penuh kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang miskin, tersingkirkan dan tidak mampu. Hendaknya semua keterlibatan orang Katolik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik dan kemasyarakatan di negara ini tidak pernah terlepas dari pekerjaan belas kasih seperti yang Yesus ajarkan. Semoga! 

Salam. 
Benny Kalakoe.