Dalam dunia modern yang super canggih tidak dapat disangkal bahwa sistem
kontrol yang dimiliki manusia dalam peziarahan hidupnya jauh lebih baik
daripada zaman sebelumnya. Alam, lingkungan hidup, bahkan masyarakatpun setiap
saat dikontrol melalui mekanisme sosial dan teknis yang lebih canggih. Bahkan
lebih dari zaman-zaman sebelumnya, manusia tidak hanya memiliki kontrol yang
lebih efektif atas dunia kehidupannya, tetapi juga manusia itu sendiri memiliki
kesadaran dan pengertian yang lebih atas kontrol itu sendiri.
Namun demikian, tanpa menolak
kehebatan manusia dalam hal mengontrol dunia ini, juga harus disadari dan
diakui bahwa ada begitu banyak hal atau kenyataan hidup manusia yang kita
ekspresikan entah lewat kata-kata atau tindakan-tindakan sangat dikontrol oleh
sesuatu “dari luar” diri manusia itu sendiri. Selain mengontrol dunianya
ternyata manusia juga dikontrol oleh dunia yang mengitarinya.
Dalam pencarian jati diri seorang
manusia, manusia sangat dipengaruhi oleh dunia di mana dia hidup: manusia mampu
mengontrol sekaligus dikontrol oleh dunia. Namun demikian, manusia dilengkapi
oleh kemampuan untuk menyaring hal-hal dari dunia luar yang masuk ke dalam
dirinya, untuk menentukan dan memilih mana yang merupakan jati dirinya sebagai
manusia yang dinamis menuju pemenuhan hidup.
Sebagai ilustrasi: Lianty seorang anak yang pintar. Semua
orang di sekolahnya bahkan di daerahnya mengenal dia sebagai anak yang pintar.
Setiap kali ada perlombaan sekolah dia selalu menjadi wakil sekolahnya dan dia
selalu juara. Tetapi suatu ketika, ketika ada Ujian Akhir Sekolah, Lianty
ternyata gagal atau tidak lulus dalam Ujian Ilmu Sosial. Lianty yang sudah
terbiasa mendapat nilai yang sangat memuaskan mengumpat-umpat kepada gurunya
dan mengatakan “Saya tidak lulus karena gurunya tidak tahu mengajar”. Setelah
dicari tahu ternyata Lianty tidak lulus karena dia tidak membaca suruhan dengan
baik, padahal apa yang ditulisnya benar tetapi bukan itu suruhannya”
Ilustrasi di atas menunjukkan
bahwa seringkali kekurangan/kesalahan/kelemahan yang dialami oleh manusia
seringkali dilempar sebagai kesalahan dari luar. Lianty yang “diakui” sebagai
orang pintar oleh dirinya sendiri dan masyarakat menolak bahwa dirinya “gagal
dalam Ujian Sekolah”. Untuk menjaga “image” sebagai orang pintar kesalahannya
dilemparkan kepada “guru yang tidak tahu mengajar”. Padahal guru yang sama
selama ini yang membuatnya menjadi seorang anak yang pintar.
Ada begitu banyak contoh di mana
manusia tidak sepenuhnya “mengontrol” dirinya sendiri dalam berkata dan
bertindak. Misalnya seorang koruptor menyatakan “Saya melakukan aksi korupsi
karena yang lain juga melakukannya”. Seorang penguasa mengatakan, “Penghormatan
yang mereka berikan, membuat saya sangat bahagia”. Atau seorang Ibu mengatakan,
“Sikap anak saya membuat saya gila”. Atau seorang mahasiswa/i, ketika mendapat
nilai baik dia akan menyatakan, “Saya mendapat nilai 10”, tetapi begitu
mendapat nilai buruk dia akan menyatakan “Dosen memberi saya nilai 3”.
Ilustrasi dan contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa
perasaan-perasaan ataupun tingkah laku, baik menyenangkan atau tidak
menyenangkan semuanya merupakan hasil atau akibat dari kejadian atau situasi
yang terjadi di luar kontrol manusia.
Nampaknya cara-cara kita mengekspresikan diri seperti dalam contoh di atas
bukan merupakan hal yang baru. Bahkan dalam Kitab Suci kita bisa temukan
hal-hal seperti itu. Misalnya Kej. 3:10. “Ketika aku mendengar bahwa Engkau ada dalam taman
ini, aku menjadi takut karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi”. Kej 3:12: “Perempuan yang Engkau tempatkan di sisiku, dialah
yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka ku makan”. Kej. 3:13: “Ular itu yang memperdayakan aku, maka aku makan”.
Melihat contoh-contoh ini adalah suatu fenomena umum bahwa kebahagiaan atau ketidakbahagiaan manusia sangat bergantung dari apa yang oleh orang lain lakukan atau tidak lakukan. Dari sini dapat dikatakan bahwa menjadi bahagia atau tidak sangat bergantung pada hal-hal yang tidak dapat seorang manusia kontrol. Bahkan kegiatan atau tindakan-tindakan yang kita lakukan merupakan reaksi atas faktor-faktor dari luar, seperti “saya memukulnya karena dia mengejek saya”, “saya korupsi karena yang lain juga korupsi”. Kalau manusia mampu mengontrol dunia luar dan juga dikontrol oleh dunia luar, lalu siapa yang bisa mengontrol manusia itu sendiri? (Bersambung ke 2 )
No comments:
Post a Comment