Wednesday, September 30, 2015

MANUSIA PEZIARAH: DIALOG DENGAN KENYATAAN (1)


Dari tulisan-tulisan sebelumnya kita sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu memilih “untuk menjadi” dan “bukan ditakdirkan”. Inilah dasar yang membedakan manusia dengan ciptaan-ciptaan lainnya.

Dalam kontaknya dengan lingkungan dan sesama, manusia mencari pemuasan atau pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan “petunjuk” biologis yang dimilikinya saat dia berbagi dengan sesamanya atau lingkungannya. “Tulisan” interaksi tersebut membentuk sebuah pola atau petunjuk original yang membentuk seorang manusia. Petunjuk original atau pola interaksi ini, yang dimiliki secara pribadi, yang terintegrasi dalam suatu sintesis biologis itulah yang disebut sebagai kepribadian.

Dengan demikian, kepribadian sebenarnya adalah hasil dari suatu “dialog” antara seorang pribadi dengan kenyataan. Kenyataan mengatakan kepada seorang pribadi berbagai hal: data-data yang tidak dapat diubah dan data-data yang menantang seseorang dan meminta jawaban; batasan-batasan yang jelas dan perbatasan yang bergerak bebas. “Suara” dari kenyataan terwujud dalam struktur fisik dan sosial; yang tiba ke kita dengan berbagai macam media. Pengaruhnya membatasi dan membentuk, tetapi juga bisa membuka kemungkinan, mengundang dan menantang seseorang bisa membatasi atau menghidupkan seseorang.

Sebaliknya, seorang pribadi “mengatakan” sesuatu kepada kenyataan berdasarkan kreativitas yang dimilikinya sendiri, suatu kemampuan untuk mentransformasikan situasi-situasi dan bisa memindahkan batasan-batasan atau melompati keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri. Hal-hal yang dikatakan di atas oleh seorang pribadi dikorporasikan dalam suara dari kenyataan untuk terus berdialog.

Dialog ini memiliki sejarah, baik sejarah pribadi ke pribadi maupun pribadi dengan kelompok. Dalam level pribadi ke pribadi, setiap orang akan terus mempelajari semua jawaban-jawaban yang dibuatnya. Di sini dia akan terus menciptakan kebiasaan-kebiasaan, gaya dan cara-cara yang spesial untuk berreaksi dengan kenyataan. Disini dihasilkan suatu perkembangan atau kemandegan. Disini akan ditemukan trauma-trauma dan penyembuhan-penyembuhannya. Setiap orang akan terus menciptakan suatu repertoir dari tingkah laku yang mengijinkan untuk berreaksi terhadap berbagai tuntutan yang dialaminya dalam perjumpaan dengan kenyataan.

Dialog juga adalah suatu sejarah kolektif: suatu kumpulan tingkah laku dari sekelompok manusia yang terus membentuk suatu budaya. Semua yang dipelajari di sini nantinya dibagikan dan diciptakan dalam norma-norma, tradisi-tradisi dan alat-alat. “Arsip budaya” ini mengijinkan suatu generasi untuk membangun di atas apa yang sudah dibangun generasi sebelumnya. Kita tidak perlu lagi melihat bagaimana proses dan penemuan bagaiamana menggunakan api dalam setiap generasi. Sama seperti dalam dialog pribadi dengan pribadi, dalam dialog pribadi dengan kelompok tertentu akan menciptakan perkembangan, pembelokan, tradisi-tradisi yang kaku bahkan revolusi yang inovatif dll.    

Tuesday, September 29, 2015

SIAPAKAH AKU? KONDISI MINIMALIS (5)

Dalam perjumpaannya dengan dunia nyata manusia membutuhkan kondisi-kondisi minimalis yang sangat dibutuhkan supaya perjumpaan tersebut menjadi sesuatu yang berharga dalam penelusuran kehidupannya.


Mengikuti pemikiran William Glasser (dengan beberapa modifikasi), tanah terjanji kita membutuhkan beberapa elemen yang tidak bisa diabaikan, antara lain:

  1. Kemampuan untuk bertahan hidup: kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk bisa bertahan hidup sebagai pribadi maupun sebagai spesies.
  2. Hak milik dan Komunikasi: suatu relasi yang secara afeksi memuaskan dan secara efektif berhubungan dengan beberapa orang yang sangat kita cintai atau sangat berarti bagi diri kita sendiri. Merasakan bahwa “kita memiliki” seperti “kita memiliki rumah” di antara orang-orang yang menerima kita sebagai pribadi. Dari opsi eksplisit iman yang seseorang ambil, relasi ini juga memasukkan komunikasi dengan Yang Absolut, walaupun tidak dirasakan atau dikenal sebagaimana mestinya untuk banyak orang.
  3. Kekuatan dan kebebasan: suatu ekspresi yang efisien dari kebebasan dan kontrol atas kehidupan kita sendiri. Termasuk di sini kebutuhan untuk menjawab kepada diri sendiri suatu kepuasan akan pertanyaan tentang identitas pribadi saya sendiri.
  4. Kebahagiaan hidup: saya tidak bisa menemukan suatu ekspresi yang lebih baik untuk elemen ini  dari “tanah terjanji” yang mungkin dalam bahasa Indonesianya “kebahagiaan hidup”. Termasuk di dalamnya pengertian akan permainan dan pesta, dunia fantasi dan simbol-simbol, keinginan untuk belajar, keingintahuan untuk mengeksplorasi dan mengetahui, dan secara umum berbagai variasi dan ungkapan syukur dari kreatifitas kemanusiaan kita.

Elemen-elemen ini tidak berada dalam suatu urutan relasi yang tenang, satu berada di samping yang lainnya dalam kepribadian setiap orang. Semuanya adalah elemen yang dinamis  yang saling berhubungan bahkan kadang-kadang saling bertentangan dengan tuntutan-tuntutan konflik dalam kepribadian seseorang.

Sebagai contoh, kebutuhan untuk mempraktekkan kebebasan dan memiliki kekuatan dan kontrol atas kehidupan kita sendiri, bisa membawa diri saya sendiri untuk mengambil resiko dan bisa jadi mengorbankan kelangsungan hidup saya, konflik yang dialami oleh begitu banyak orang yang telah mati demi memperjuangkan kebebasan (para pahlawan).

Pencarian kekuatan/kekuasan dan kontrol bisa membawa saya masuk dalam suatu konflik dengan kebutuhan saya untuk menjaga suatu relasi penuh cinta dengan orang-orang yang sama kepada siapa saya arahkan kontrol saya. Sebaliknya keinginan saya untuk “tinggal baik” dan diterima, bisa membawa saya untuk mengurbankan kebebasan saya dan menyerahkan kontrol atas kehidupan saya pada orang lain.

Banyak pemburuh yang telah menjadi makanan para singa, karena keinginan mereka untuk mengetahui “apa yang ada dalam gua ini” adalah sesuatu yang lebih besar daripada kebutuhan untuk berhati-hati dengan kelangsungan hidup mereka sendiri.

Dalam semua konflik ini, seseorang harus mencari suatu sintesis atau persetujuan di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan.

Cara lain untuk memvisualisasikan proses “negosiasi” dalam mengsintesiskan tuntutan-tuntutan vital kehidupan atau kebutuhan-kebutuhan fundamental yang memanggil kita “menuju tanah terjanji”, adalah metafor “tingkatan kebutuhan” yang diadaptasikan dari Abraham Maslow.


Maslow mngurutkan kebutuhan manusia dalam suatu skala dimulai dari kebutuhan-kebutuhan yang sangat elemental (demi kelangsungan hidup) sampai ke kebutuhan yang lebih spiritual. Formulasi kebutuhan-kebutuhan ini tidak merupakan suatu kebetulan yang pasti dengan yang sebelumnya, walaupun ada suatu hubungan substansial dengan isi dari keduanya. Tingkatan kebutuhan Maslow dengan beberapa modifikasi adalah sebagai berikut:

  1. Kelangsungan hidup dan keamanan
  2. Stimulasi (Dorongan) (kelaparan akan gratifikasi atau ganjaran sensual, akan keingintahuan dan pengertian, mengeksplorasi dan mencaritahu dll)
  3. Kepemilikan: untuk merasakan bahwa kita diterima oleh orang lain atau kelompok tertentu.
  4. Identitas: untuk menjawab pertanyaan “Siapakah aku?”. Kebetuhan ini dan yang sebelumnya sangat berhubungan secara langsung. Sering kita menjawab pertanyaan “siapakah saya?” melalui apa yang kita miliki dalam berbagai perkumpulan atau kelompok: saya adalah anak Frans Anggo dan Maria Seria, saya orang Flores, Saya orang katolik dll.
  5. Komunikasi: mengekspresikan kepada orang lain tentang siapakah saya dan apa yang saya rasakan.
  6. Persatuan (Komunitas): kebutuhan akan mencintai dan dicintai. Kebutuhan akan keintiman dalam suatu relasi dengan orang-orang yang dianggapnya sangat berharga.
  7. Produktivitas: kebutuhan akan suatu perasaan bahwa kita berharga dan berguna melalui pekerjaan dan aksi kita. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk menjadi “subur” dalam pengertian fisik (menjadi bapak dan ibu) dan dalam pengertian yang lebih luas seperti meninggalkan jejak di dunia ini.
  8. Aktualisasi diri: kebutuhan untuk menemukan kepribadian dan pengertian hidup dan hidup saya. Kebutuhan terakhir ini mengandaikan suatu kepuasan minimal dari kebutuhan-kebutuhan sebelumnya.

Metafor tingkatan kebutuhan, dengan berbagai kekurangan dari setiap perbandingan, berguna untuk mempraktekkan hubungan antara kebutuhan-kebutuhan ini seperti bagaimana hubungan mereka dengan tujuan akhir dari kebebasan kita.

Beberapa karakteristik dari gambaran ini yang bisa memberikan terang:
    • Setiap point tingkatan tangga itu selalu mendukung point pada tingkatan tangga setelahnya. Ketika tiba pada tingkatan yang terakhir, maka kita  akan kembali mendukung yang tingkatan pertama karena dia akan mendukung yang di atasnya. Aspek ini menggambarkan bahwa kebutuhan dasar harus dipuaskan secara terus menerus dalam suatu level minimal sebelum bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan diatasnya. Kekosongan yang serius akan kepuasan yang mendasar (makanan, keamanan dll) dapat menghambat secara total atau sebagian dari kebutuhan-kebutuhan lainnya dan nilainya.
    • Setiap tingkatan kebutuhan selalu terarah pada tujuan akhir. Tidak ada tingkatan yang menutup dirinya sendiri. Aspek ini ingin menyatakan bahwa dengan berbagai cara, tujuan akhir harus selalu berada sekarang (menerangi dan membentuk dll) pada setiap elemen yang kita butuhkan (anak tangga sebelumnya). Suatu kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan lebih mendasar harus berhubungan selalu dengan  tujuan akhir.  Sebagai contoh, kebutuhan untuk makan tidak akan terpuaskan dengan menginjak saudara saya yang sedang menolong saya di depan saya, juga bukan dengan demi pemuasan keinginan atau hasrat seksual bisa membuat dan membawa saya untuk mempraktekan suatu aksi seksualitas yang buas seperti seekor binatang. Kebutuhan yang lebih tinggi akan persatuan (komunitas) “melebur” dalam cara kita bermakan (makanan ditemukan dalam suatu perjumpaan dan ekspresi cinta persaudaraan dan bukan dalam suatu “selamatlah dia yang bisa”) dan dalam pengertian seksualitas misalnya suatu aksi seksual harus tersalurkan dalam suatu ekspresi cinta, kelemahlembutan dan kesenangan yang dibagikan bersama.
    • Metafora ini juga memberikan pesan yang lebih bahwa anak tangga yang lebih tinggi bisa “memberikan kita ijin”  untuk mengabaikan anak tangga yang sebelumnya. Sebagai contoh , seorang ibu akan mengurbankan jam istirahatnya, makanannya dll, untuk menjawab tuntutan-tuntutan  kebutuhan yang lebih mendasar dari persatuan, identitas keibuan, komunikasi dll. Praksis kebebasan mengharapkan suatu referensi konstan atas tingkatan kebutuhan dan atas tingkatan nilai dalam diri kita dan kepribadian kita. Urutan tangga dari tangga yang terakhir ini bisa bervariasi untuk setiap orang.

Dari perspektif-perspektif ini , tertera kemungkinan dan kebutuhan untuk mengambil kontrol atas kehidupan kita sendiri dan pada saat yang sama kita dapat melihat kesulitan dan resiko yang bisa diambil ketika kita mempraktekkan kebebasan kita.


Akhirnya, semua umat manusia memiliki suatu kebebasan terkondisikan dan terbatas oleh banyak faktor, yang mana sebagian besarnya tidak bisa kita ubah. Namun demikian kita selalu memiliki suatu kebebasan yang tertinggal dan terlindungi dan asli dan memiliki kemungkinan untuk menciptakan suatu sintesis yang sangat mengagumkan.

Lebih jauh dari bagaimana kita membentuk kemana kita arahkan sintesis kita, keefektifannya tergantung dari bagaimana kita mengelola kenyataan obyektif dan dari kepuasan yang diberikan kepada kebutuhan- kebutuhan dasar kita.

Mari kita melihat sekarang suatu proses dengan mana kita dapat mengerti untuk menjawab semua tuntutan-tuntutan internal dan eksternal dalam pertemuan dengan kenyataan.