http://www.travelingmyself.com |
Pertanyaan pertanyaan fundamental di atas berkaitan erat dengan kebebasan
yang dimiliki oleh manusia. Walaupun jawaban atas pertanyaan pertanyaan
tersebut mungkin jatuh di luar yang diharapkan dalam eksplorasi yang akan
dilakukan setiap manusia, namun sangat penting apabila jalan-jalan menuju tanah
terjanji tersebut dijelaskan.
Kalau melihat kehidupan riil manusia, maka jawaban atas pertanyaan
fundamental tersebut muncul dalam berbagai perspektif dan bahasa ekspresi jati
diri manusia. Tujuan terakhir seorang manusia bisa diekspresikan dalam berbagai
bentuk yang berbeda, misalnya “keselamatan”, “kebahagiaan”, “persatuan dengan
Yang Tertinggi”, “Nirwana”, “Surga”, “Surga Dunia”, dll. Utopia-utopia tujuan
akhir yang digambarkan tersebut semuanya sangat personal, sosial, ekonomis,
historis dan kosmis. Keragaman ini tidak hanya ke mana tujuan yang akan kita
capai, melainkan juga dalam bagaimana cara kita menuju ke tujuan terakhir
tersebut. Apa-apa saja jalan menuju ke keselamatan, kebahagiaan,
auto-realisasi, dll? Akan ditemukan berbagai jawaban yang berbeda seperti;
kesenangan, kekuatan, kekayaan, agama, pelayanan, kemartiran, asketisme dll.
Melihat keragaman bahasa dan ekspresi akan tujuan akhir dan cara mencapai
tujuan akhir tersebut, muncul sebuah pertanyaan: apakah ada suatu kesamaan atau
kesatuan mendasar dari semua tujuan akhir dan cara mencapai tujuan akhir
tersebut? Apakah kita berbicara hal yang sama ketika kita menggunakan bahasa
dan ekspresi “keselamatan”, “kebahagiaan”, “auto-realisasi”, “kebebasan
integral” dll? Jawabannya sudah pasti tidak sama. Ketika seorang pribadi, pada
saat memformulasikan tujuan akhir
seperti “membangun suatu persaudaraan yang lebih manusiawi”, maka pada saat
yang sama secara jelas mengingkari dimensi transendental termasuk untuk orang
lain seperti formula “keselamatan” atau “persatuan dengan Tuhan”.
http://cdn.pazoo.com |
Kita menyadari sekarang bahwa secara obyektif, tujuan akhir hidup kita
dijadikan sarana untuk persatuan dengan
orang lain. (Hal ini bisa diharapkan sebagai suatu “doktrin”, suatu opsi dan
konsep yang fundamental). Jika demikian yang terjadi dengan kita, maka pertemuan
–pertemuan kita dengan kenyataan mewajibkan kita untuk menghormati orientasi tujuan
ini jika kita tidak ingin memperkosa kepribadian kita. Seseorang dapat
memakukan paku pada piring terbuat dari porselin yang indah, tetapi akan
terjadi bahaya besar bahwa kebahagiaan piring yang indah akan hancur.
Dari titik pandang ini, menjadi relatif kurang
penting bagaimana seseorang merasakan tujuan-tujuan akhir dan intensi-intensi
yang dimilikinya, dan yang menjadi lebih penting adalah bahwa seseorang
menghormati kenyataan dari tujunan akhirnya. Tidak cukup dengan memiliki intensi-intensi
atau teori yang baik untuk menjadi bahagia. Untuk menjadi bahagia adalah sangat
dibutuhkan kepastian dan efisiensi dalam
hal bagaimana mengatur kenyataan dan menghormati bagaimana kita berlaku atau
bertindak. (Benny Kalakoe, BSD, 22715)