Friday, October 2, 2015

MANUSIA PEZIARAH: FOTO TINGKAH LAKU (3)

Proses pembelajaran dalam dialog dengan kenyataan selalu direkam oleh “kamera foto” yang ada dalam diri manusia. “Kamera foto” manusia ini tidak dapat dibandingkan dengan kamera foto apapun yang ada dalam dunia teknologi sekarang ini, karena kamera ini tidak hanya menangkap apa yang dilihat, suara yang didengar tetapi juga menangkap “rasa afektif” dari pengalaman perjumpaan tersebut dalam sebuah arsip. 

Pengalaman perjumpaan dalam dialog dengan kenyataan yang direkam dalam sebuah “kamera foto” lama kelamaan membentuk sebuah sistem atau pola tertentu yakni sistem tingkah laku atau pola tingkah laku. Di sini sistem tingkah laku tersebut tidak hanya direkam dalam suatu pencatatan praktis karena tingkah laku tersebut berguna dan dibutuhkan tetapi juga memiliki kekuatan bahwa tingkah laku tersebut adalah baik dan diinginkan. 

“Kamera foto” kita manusia memiliki filter etika akan nilai-nilai dari tingkah laku yang sudah diarsipkan. Tidak ada tingkah laku yang diarsipkan (tanpa atau) jika tidak memuaskan suatu kebutuhan. Banyak ahli (psikologi) berdebat tentang “álbum” mental manusia yang memuaskan kebutuhan manusia. Banyak dari para ahli menyatakan bahwa “álbum” mental manusia juga memiliki foto yang sangat tidak menyenangkan dan bisa menjadi sumber penderitaan dan ketidakberesan dalam kehidupan manusia. Dalam kenyataannya manusia sangat gampang untuk menyimpan foto yang menyenangkan dan sulit untuk menyatakan mengapa kita harus memilihara atau menyimpan foto yang tidak efisien atau menyenangkan bagi kehidupan manusia. 

Dari berbagai polemik “álbum” mental manusia ini, kita bisa menggarisbawahi beberapa point penting tentang tingkah laku manusia, antara lain:
semua tingkah laku manusia, baik yang efektif ataupun tidak efektif, yang konstruktif maupun destruktif, sebenarnya sudah kita pelajari.
Tidak semua elemen yang muncul dalam album mental kita adalah efektif dan/ atau konstruktif, tetapi jika mereka ada di sana karena nampaknya bagi kita lebih baik atau kurang buruk untuk memeliharanya dalam album kita.
Jika kita telah mempelajari tingkah laku kita, termasuk hal-hal yang negatif, kita dapat mempelajari yang lain.
Persepsi kita akan dunia luar memberi terang kepada album mental dan nilai etika yang kita miliki. Dengan demikian, ketika memfokuskan tingkah laku orang lain kita melakukannya dengan “tinta/warna” dari nilai yang ada dalam kaca kamera kita. Karena inilah kadang-kadang kita menjawab diri kita sendiri dengan mengatakan tidak hanya tingkah laku orang lain berbeda dengan yang kita miliki, melainkan juga kadang-kadang mengatakan tingkah laku mereka adalah jahat / buruk atau tidak diinginkan.

Kesimpulan: kita telah mencoba untuk melihat afirmasi bahwa “kita tidak dilahirkan karena takdir melainkan dalam suatu proses menjadi”. Kepribadian kita adalah hasil dinamika antara dialog yang terus menerus dengan kenyataan di mana keduanya saling membentuk secara sempurna. Dialog memiliki sejarah baik personal maupun kolektif, di mana ada kemajuan dan kemunduran, periode-periode dengan intensitas kreatifitas dan juga kemandegan.

Sistem tingkah laku kita akan terus muncul dengan dialog dalam suatu proses pembelajaran yang pelan di mana kita memperhitungkan sumber-sumber yang kurang lebih otomatis dan spontan, teratur yang oleh Glasser disebut sebagai “saraf tua” dan dengan sumber-sumber yang lebih kompleks dan sadar, teratur menurut suatu struktur perkembangan yang lebih kemudian dalam proses perkembangan di sebut sebagai 
“saraf baru”.

Proses pembelajaran akan tingkahlaku adalah suatu ujian: mari kita mengeneralisir tingkah laku dalam suatu jawaban akan sensasi ketidaknyamanan, kesempatan yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan atau harmoni dalam tubuh dengan relasinya dengan dunia yang mengitarinya. Tujuan dari tingkah laku seperti ini adalah pemuasan suatu kebutuhan yang sedang dialami.

Ketika suatu tingkah laku sampai pada tingkat memuaskan kebutuhan dan mengembalikan keadaan yang seimbang, album mental kita merekamnya dalam tingkah laku dan obyek pemuasan sebagai suatu elemen yang lebih dari kotak perkakas atau sistem tingkah laku kita.

Kita telah melihat beberapa karakter dari “kamera” kita:
Bisa mengambil berbagai macam “pose” dari obyek yang sama (kebutuhan): beberapa tingkah laku dan obyek yang memuaskannya kebutuhan yang sama.
Juga menangkap perasaan-perasaan yang menemani apa yang difoto.
Juga menempatkan nilai etika dalam semua tingkah laku itu.

Kita juga telah membedakan antara apa itu kebutuhan dan keinginan, sambil menekankan supaya tidak dipusingkan oleh dua konsep tersebut, yang bisa membuat kita berada dalam suatu identifikasi lurus dan menghancurkan.

Titik pusat semua tulisan di atas adalah semua tingkah laku sudah dipelajari. Itu berarti jika kita bisa mempelajari tingkah laku kita maka kita bisa mempelajari yang lainnya.

Thursday, October 1, 2015

MANUSIA PEZIARAH: PROSES PEMBELAJARAN DIALOG DENGAN KENYATAAN (2)


Bagaimana menyatakan secara konkret dialog ini? Asal dari repertoir tingkahlaku kita bermula dari kontak-kontak awal kita dengan dunia yang mengelilingi kita. Di luar apa yang dikatakan oleh para ahli bahwa kehidupan sebelum kita lahir bisa membentuk dan mengajar kita, di sini kita membatasi diri kita pada proses yang dimulai sejak perjumpaan pertama kita dengan kenyataan, langsung setelah kita lahir.

Di sini saya ingin mengembangkan konsep dari William Glasser, dalam bukunya “Control Theory”, dan membagikannya kembali kepada para pembaca dengan pendalaman pemahaman sesuai yang saya ingin kembangkan.

Kontak pertama dari mereka yang baru saja lahir ditemukan dalam suatu kenyataan yang secara praktis tidak berdaya. Dibandingkan dengan binatang, seorang manusia yang baru saja lahir memiliki sumber daya yang sangat kurang untuk berhadapan dengan linkungan yang mengitarinya. Petunjuk biologis binatang lebih cepat  dan memiliki daya instingtif yang lebih besar yang membuatnya lebih independen daripada seorang manusia. Ketidakberuntungan manusia ini akan dikompensasikannya kemudian hari, dalam kemampuannya untuk  berkembang, mengadaptasikan dirinya dan mentransformasikan dunianya.

Tetapi harus disadari bahwa perjumpaan pertama seorang manusia yang barus saja lahir berhadapan secara fundamental dengan kebutuhannya untuk bertahan hidup, kepemilikan, kekuatan/kekuasaan, dengan suatu kondisi minimum dan juga termasuk dimulainya refleks, reaksi spontan dan berfungsinya elemen-elemen dasar seperti bernafas, sirkulasi udara dll,  yang semuanya diatur. Semua hal tersebut disebut oleh Glasser sebagai “saraf tua”.

“Saraf tua” ini adalah sekumpulan struktur perkembangan manusia dalam sebuah proses yang terletak di bagian paling atas dari tulang punggung. “Saraf tua” memiliki dan memberikan kemampuan untuk bekerja secara otomatis terhadap fungsi-fungsi vital  kehidupan manusia, tanpa harus memberikan perhatian khusus kepada mereka. Bisa dibandingkan dengan sebuah komputer yang terpogram dan bisa diprogramkan. Seperti komputer, dia tidak memiliki kesadaran dan kehendaknya sendiri.

“Saraf tua” akan mentaati semua aturan yang secara progresif terus menerus berkembang dalam “saraf baru” di mana kesadaran bertahta yang sering kita sebut “memori” (yang sangat berbeda dengan memori sebuah komputer). Memori manusia akan terus menerus mengarsipkan  semua tingkah laku atau sikap  yang akan terus dipelajari.

Apa yang terjadi dalam pertemuan atau dialog dengan kenyataan yang  bisa memprovokasi kebutuhan manusia untuk belajar?

Berhadapan dengan kenyataan (dunia), pribadi yang baru saja lahir mengalami beberapa seri sensasi. Semuanya ini dapat menyenangkan, jika ada harmoni dan keseimbangan dalam dirinya sendiri dan dalam relasinya dengan dunia di luarnya. Ketika keseimbangan ini tidak ada (sensasi kedinginan, lapar, iritasi, sakit dll), maka semua yang tidak mengenakkan tersebut memberikan sinyal peringatan ke “saraf tua” supaya dibangun suatu keseimbangan.

Seorang anak manusia yang baru lahir mulai menghasilkan tingkah laku atau sikap untuk menghadapi kenyataan yang tidak baik dan mengembalikan keseimbangan yang telah hilang melalui tangisan, tangan yang mengepal dll. Semua tingkah laku ini membutuhkan suatu jawaban pemuasan: seseorang terpaksa mencari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu keseimbangan (makanan, kehangatan, meringakan ketidakenakan dan ketidakbaikan). Sumber-sumber keseimbangan ini adalah sumber-sumber yang oleh anak yang baru lahir tidak dapat disediakan oleh dirinya sendiri.

Ketika suatu tingkah laku mendapat jawaban dengan hasil yang memuaskan, maka tingkahlaku, obyek yang memuaskan kebutuhan dan proses mengembalikan keseimbangan tersebut, direkam dalam arsip sebagai alat atau perkakas yang berguna bagi masa depan. Glaser menggunakan suatu perbandingan dengan mengatakan “album fotografi dari kebutuhan dan keinginan”.

Setiap kebutuhan bisa memiliki berbagai bentuk foto yang berbeda, karena tingkah laku yang berbeda bisa memiliki berbagai obyek yang berbeda untuk pemuasannya. Sebagai contoh, kebutuhan untuk meringankan kelaparan dapat dipuaskan dengan makan pisang di rumah saya, atau berjalan ke sebuah toko roti dan membeli roti, atau saya pergi ke rumah seorang teman untuk makan siang. Dalam hal ini seseorang akan memiliki tiga bentuk foto,(pisang-rumah, roti – toko roti, makan- rumah teman) untuk suatu kebutuhan yang sama (lapar).

Semua foto ini akan terus terorganisasi dalam suatu sistem yang kompleks akan tingkah laku yang membentuk “kotak perkakas” untuk melakukan suatu pekerjaan untuk menghadapi semua kebutuhan.

Adalah penting untuk membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Sekali kita mengkopi “foto” dari suatu sikap dan obyek yang memuaskan kebutuhan itu, sejak saat itu kita ingin atau mau bahwa obyek itu, ketika saya butuhkan dia akan ada. Identifikasi ini bisa membuat kita rusak atau tidak baik ketika obyek yang sudah ditentukan itu tidak bisa kita dapatkan atau tidak bisa memuaskan kebutuhan kita. Contoh klasik dari kenyataan ini adalah lelaki atau perempuan yang sedang putus cinta. Romeo jatuh cinta sama Juliet. Dalam bahasa yang sudah kita gunakan, kebutuhan akan cinta dari Romeo telah terpenuhi atau terpuaskan dengan suatu pendekatan dan jatuh cinta (tingkah laku/sikap) kepada Juliet (obyek, maaf kepada Juliet). Foto ini (Romeo mengatakan “darling” kepada Juliet) sudah ada di dalam album. Jika Juliet berkomunikasi dengan Romeo yang sudah tidak lagi tertarik dengan perkembangan cintanya, Romeo bisa membuat suati identifikasi yang berbahaya bahwa “kebutuhan akan cinta” sama dengan “jatuh cinta” kepada Juliet. Konsekwensinya: kehilangan Juliet, tidak akan membuatnya lagi jatuh cinta kepada siapa pun. Bisa jadi jalan keluar adalah minum racun atau lompat dari gedung bertingkat.

Dalam kasus ini, menjaga perbedaan antara kebutuhan (cinta) dan keinginan (suatu keterikatan afektif dengan Juliet) bisa membantu Romeo untuk melihat bahwa kebutuhannya bisa dipenuhi atau terpuaskan melalui tingkah laku atau obyek yang lain.

Wednesday, September 30, 2015

MANUSIA PEZIARAH: DIALOG DENGAN KENYATAAN (1)


Dari tulisan-tulisan sebelumnya kita sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu memilih “untuk menjadi” dan “bukan ditakdirkan”. Inilah dasar yang membedakan manusia dengan ciptaan-ciptaan lainnya.

Dalam kontaknya dengan lingkungan dan sesama, manusia mencari pemuasan atau pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan “petunjuk” biologis yang dimilikinya saat dia berbagi dengan sesamanya atau lingkungannya. “Tulisan” interaksi tersebut membentuk sebuah pola atau petunjuk original yang membentuk seorang manusia. Petunjuk original atau pola interaksi ini, yang dimiliki secara pribadi, yang terintegrasi dalam suatu sintesis biologis itulah yang disebut sebagai kepribadian.

Dengan demikian, kepribadian sebenarnya adalah hasil dari suatu “dialog” antara seorang pribadi dengan kenyataan. Kenyataan mengatakan kepada seorang pribadi berbagai hal: data-data yang tidak dapat diubah dan data-data yang menantang seseorang dan meminta jawaban; batasan-batasan yang jelas dan perbatasan yang bergerak bebas. “Suara” dari kenyataan terwujud dalam struktur fisik dan sosial; yang tiba ke kita dengan berbagai macam media. Pengaruhnya membatasi dan membentuk, tetapi juga bisa membuka kemungkinan, mengundang dan menantang seseorang bisa membatasi atau menghidupkan seseorang.

Sebaliknya, seorang pribadi “mengatakan” sesuatu kepada kenyataan berdasarkan kreativitas yang dimilikinya sendiri, suatu kemampuan untuk mentransformasikan situasi-situasi dan bisa memindahkan batasan-batasan atau melompati keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri. Hal-hal yang dikatakan di atas oleh seorang pribadi dikorporasikan dalam suara dari kenyataan untuk terus berdialog.

Dialog ini memiliki sejarah, baik sejarah pribadi ke pribadi maupun pribadi dengan kelompok. Dalam level pribadi ke pribadi, setiap orang akan terus mempelajari semua jawaban-jawaban yang dibuatnya. Di sini dia akan terus menciptakan kebiasaan-kebiasaan, gaya dan cara-cara yang spesial untuk berreaksi dengan kenyataan. Disini dihasilkan suatu perkembangan atau kemandegan. Disini akan ditemukan trauma-trauma dan penyembuhan-penyembuhannya. Setiap orang akan terus menciptakan suatu repertoir dari tingkah laku yang mengijinkan untuk berreaksi terhadap berbagai tuntutan yang dialaminya dalam perjumpaan dengan kenyataan.

Dialog juga adalah suatu sejarah kolektif: suatu kumpulan tingkah laku dari sekelompok manusia yang terus membentuk suatu budaya. Semua yang dipelajari di sini nantinya dibagikan dan diciptakan dalam norma-norma, tradisi-tradisi dan alat-alat. “Arsip budaya” ini mengijinkan suatu generasi untuk membangun di atas apa yang sudah dibangun generasi sebelumnya. Kita tidak perlu lagi melihat bagaimana proses dan penemuan bagaiamana menggunakan api dalam setiap generasi. Sama seperti dalam dialog pribadi dengan pribadi, dalam dialog pribadi dengan kelompok tertentu akan menciptakan perkembangan, pembelokan, tradisi-tradisi yang kaku bahkan revolusi yang inovatif dll.    

Tuesday, September 29, 2015

SIAPAKAH AKU? KONDISI MINIMALIS (5)

Dalam perjumpaannya dengan dunia nyata manusia membutuhkan kondisi-kondisi minimalis yang sangat dibutuhkan supaya perjumpaan tersebut menjadi sesuatu yang berharga dalam penelusuran kehidupannya.


Mengikuti pemikiran William Glasser (dengan beberapa modifikasi), tanah terjanji kita membutuhkan beberapa elemen yang tidak bisa diabaikan, antara lain:

  1. Kemampuan untuk bertahan hidup: kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk bisa bertahan hidup sebagai pribadi maupun sebagai spesies.
  2. Hak milik dan Komunikasi: suatu relasi yang secara afeksi memuaskan dan secara efektif berhubungan dengan beberapa orang yang sangat kita cintai atau sangat berarti bagi diri kita sendiri. Merasakan bahwa “kita memiliki” seperti “kita memiliki rumah” di antara orang-orang yang menerima kita sebagai pribadi. Dari opsi eksplisit iman yang seseorang ambil, relasi ini juga memasukkan komunikasi dengan Yang Absolut, walaupun tidak dirasakan atau dikenal sebagaimana mestinya untuk banyak orang.
  3. Kekuatan dan kebebasan: suatu ekspresi yang efisien dari kebebasan dan kontrol atas kehidupan kita sendiri. Termasuk di sini kebutuhan untuk menjawab kepada diri sendiri suatu kepuasan akan pertanyaan tentang identitas pribadi saya sendiri.
  4. Kebahagiaan hidup: saya tidak bisa menemukan suatu ekspresi yang lebih baik untuk elemen ini  dari “tanah terjanji” yang mungkin dalam bahasa Indonesianya “kebahagiaan hidup”. Termasuk di dalamnya pengertian akan permainan dan pesta, dunia fantasi dan simbol-simbol, keinginan untuk belajar, keingintahuan untuk mengeksplorasi dan mengetahui, dan secara umum berbagai variasi dan ungkapan syukur dari kreatifitas kemanusiaan kita.

Elemen-elemen ini tidak berada dalam suatu urutan relasi yang tenang, satu berada di samping yang lainnya dalam kepribadian setiap orang. Semuanya adalah elemen yang dinamis  yang saling berhubungan bahkan kadang-kadang saling bertentangan dengan tuntutan-tuntutan konflik dalam kepribadian seseorang.

Sebagai contoh, kebutuhan untuk mempraktekkan kebebasan dan memiliki kekuatan dan kontrol atas kehidupan kita sendiri, bisa membawa diri saya sendiri untuk mengambil resiko dan bisa jadi mengorbankan kelangsungan hidup saya, konflik yang dialami oleh begitu banyak orang yang telah mati demi memperjuangkan kebebasan (para pahlawan).

Pencarian kekuatan/kekuasan dan kontrol bisa membawa saya masuk dalam suatu konflik dengan kebutuhan saya untuk menjaga suatu relasi penuh cinta dengan orang-orang yang sama kepada siapa saya arahkan kontrol saya. Sebaliknya keinginan saya untuk “tinggal baik” dan diterima, bisa membawa saya untuk mengurbankan kebebasan saya dan menyerahkan kontrol atas kehidupan saya pada orang lain.

Banyak pemburuh yang telah menjadi makanan para singa, karena keinginan mereka untuk mengetahui “apa yang ada dalam gua ini” adalah sesuatu yang lebih besar daripada kebutuhan untuk berhati-hati dengan kelangsungan hidup mereka sendiri.

Dalam semua konflik ini, seseorang harus mencari suatu sintesis atau persetujuan di antara berbagai tuntutan yang saling bertentangan.

Cara lain untuk memvisualisasikan proses “negosiasi” dalam mengsintesiskan tuntutan-tuntutan vital kehidupan atau kebutuhan-kebutuhan fundamental yang memanggil kita “menuju tanah terjanji”, adalah metafor “tingkatan kebutuhan” yang diadaptasikan dari Abraham Maslow.


Maslow mngurutkan kebutuhan manusia dalam suatu skala dimulai dari kebutuhan-kebutuhan yang sangat elemental (demi kelangsungan hidup) sampai ke kebutuhan yang lebih spiritual. Formulasi kebutuhan-kebutuhan ini tidak merupakan suatu kebetulan yang pasti dengan yang sebelumnya, walaupun ada suatu hubungan substansial dengan isi dari keduanya. Tingkatan kebutuhan Maslow dengan beberapa modifikasi adalah sebagai berikut:

  1. Kelangsungan hidup dan keamanan
  2. Stimulasi (Dorongan) (kelaparan akan gratifikasi atau ganjaran sensual, akan keingintahuan dan pengertian, mengeksplorasi dan mencaritahu dll)
  3. Kepemilikan: untuk merasakan bahwa kita diterima oleh orang lain atau kelompok tertentu.
  4. Identitas: untuk menjawab pertanyaan “Siapakah aku?”. Kebetuhan ini dan yang sebelumnya sangat berhubungan secara langsung. Sering kita menjawab pertanyaan “siapakah saya?” melalui apa yang kita miliki dalam berbagai perkumpulan atau kelompok: saya adalah anak Frans Anggo dan Maria Seria, saya orang Flores, Saya orang katolik dll.
  5. Komunikasi: mengekspresikan kepada orang lain tentang siapakah saya dan apa yang saya rasakan.
  6. Persatuan (Komunitas): kebutuhan akan mencintai dan dicintai. Kebutuhan akan keintiman dalam suatu relasi dengan orang-orang yang dianggapnya sangat berharga.
  7. Produktivitas: kebutuhan akan suatu perasaan bahwa kita berharga dan berguna melalui pekerjaan dan aksi kita. Termasuk didalamnya kebutuhan untuk menjadi “subur” dalam pengertian fisik (menjadi bapak dan ibu) dan dalam pengertian yang lebih luas seperti meninggalkan jejak di dunia ini.
  8. Aktualisasi diri: kebutuhan untuk menemukan kepribadian dan pengertian hidup dan hidup saya. Kebutuhan terakhir ini mengandaikan suatu kepuasan minimal dari kebutuhan-kebutuhan sebelumnya.

Metafor tingkatan kebutuhan, dengan berbagai kekurangan dari setiap perbandingan, berguna untuk mempraktekkan hubungan antara kebutuhan-kebutuhan ini seperti bagaimana hubungan mereka dengan tujuan akhir dari kebebasan kita.

Beberapa karakteristik dari gambaran ini yang bisa memberikan terang:
    • Setiap point tingkatan tangga itu selalu mendukung point pada tingkatan tangga setelahnya. Ketika tiba pada tingkatan yang terakhir, maka kita  akan kembali mendukung yang tingkatan pertama karena dia akan mendukung yang di atasnya. Aspek ini menggambarkan bahwa kebutuhan dasar harus dipuaskan secara terus menerus dalam suatu level minimal sebelum bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhan diatasnya. Kekosongan yang serius akan kepuasan yang mendasar (makanan, keamanan dll) dapat menghambat secara total atau sebagian dari kebutuhan-kebutuhan lainnya dan nilainya.
    • Setiap tingkatan kebutuhan selalu terarah pada tujuan akhir. Tidak ada tingkatan yang menutup dirinya sendiri. Aspek ini ingin menyatakan bahwa dengan berbagai cara, tujuan akhir harus selalu berada sekarang (menerangi dan membentuk dll) pada setiap elemen yang kita butuhkan (anak tangga sebelumnya). Suatu kenyataan bahwa kebutuhan-kebutuhan lebih mendasar harus berhubungan selalu dengan  tujuan akhir.  Sebagai contoh, kebutuhan untuk makan tidak akan terpuaskan dengan menginjak saudara saya yang sedang menolong saya di depan saya, juga bukan dengan demi pemuasan keinginan atau hasrat seksual bisa membuat dan membawa saya untuk mempraktekan suatu aksi seksualitas yang buas seperti seekor binatang. Kebutuhan yang lebih tinggi akan persatuan (komunitas) “melebur” dalam cara kita bermakan (makanan ditemukan dalam suatu perjumpaan dan ekspresi cinta persaudaraan dan bukan dalam suatu “selamatlah dia yang bisa”) dan dalam pengertian seksualitas misalnya suatu aksi seksual harus tersalurkan dalam suatu ekspresi cinta, kelemahlembutan dan kesenangan yang dibagikan bersama.
    • Metafora ini juga memberikan pesan yang lebih bahwa anak tangga yang lebih tinggi bisa “memberikan kita ijin”  untuk mengabaikan anak tangga yang sebelumnya. Sebagai contoh , seorang ibu akan mengurbankan jam istirahatnya, makanannya dll, untuk menjawab tuntutan-tuntutan  kebutuhan yang lebih mendasar dari persatuan, identitas keibuan, komunikasi dll. Praksis kebebasan mengharapkan suatu referensi konstan atas tingkatan kebutuhan dan atas tingkatan nilai dalam diri kita dan kepribadian kita. Urutan tangga dari tangga yang terakhir ini bisa bervariasi untuk setiap orang.

Dari perspektif-perspektif ini , tertera kemungkinan dan kebutuhan untuk mengambil kontrol atas kehidupan kita sendiri dan pada saat yang sama kita dapat melihat kesulitan dan resiko yang bisa diambil ketika kita mempraktekkan kebebasan kita.


Akhirnya, semua umat manusia memiliki suatu kebebasan terkondisikan dan terbatas oleh banyak faktor, yang mana sebagian besarnya tidak bisa kita ubah. Namun demikian kita selalu memiliki suatu kebebasan yang tertinggal dan terlindungi dan asli dan memiliki kemungkinan untuk menciptakan suatu sintesis yang sangat mengagumkan.

Lebih jauh dari bagaimana kita membentuk kemana kita arahkan sintesis kita, keefektifannya tergantung dari bagaimana kita mengelola kenyataan obyektif dan dari kepuasan yang diberikan kepada kebutuhan- kebutuhan dasar kita.

Mari kita melihat sekarang suatu proses dengan mana kita dapat mengerti untuk menjawab semua tuntutan-tuntutan internal dan eksternal dalam pertemuan dengan kenyataan.

Wednesday, July 22, 2015

SIAPAKAH AKU? DARI KEBEBASAN MENUJU 'TANAH TERJANJI' (4)



http://www.travelingmyself.com
Suka dukanya kehidupan manusia sangat bergantung pada arah mana kita mengarahkan kebebasan kita. Pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti: apa saja tujuan akhir yang dicari oleh setiap manusia? Apakah tujuan akhir yang dicari itu sama untuk semua orang? Apakah tanah terjanji yang harus dilewati melalui padang gurun kehidupan itu berbeda-beda bagi setiap orang? Apakah yang harus dipegang atau diandalkan saat di padang gurun kehidupan sebelum mencapai tanah terjanji yang dijanjikan?



Pertanyaan pertanyaan fundamental di atas berkaitan erat dengan kebebasan yang dimiliki oleh manusia. Walaupun jawaban atas pertanyaan pertanyaan tersebut mungkin jatuh di luar yang diharapkan dalam eksplorasi yang akan dilakukan setiap manusia, namun sangat penting apabila jalan-jalan menuju tanah terjanji tersebut dijelaskan.



Kalau melihat kehidupan riil manusia, maka jawaban atas pertanyaan fundamental tersebut muncul dalam berbagai perspektif dan bahasa ekspresi jati diri manusia. Tujuan terakhir seorang manusia bisa diekspresikan dalam berbagai bentuk yang berbeda, misalnya “keselamatan”, “kebahagiaan”, “persatuan dengan Yang Tertinggi”, “Nirwana”, “Surga”, “Surga Dunia”, dll. Utopia-utopia tujuan akhir yang digambarkan tersebut semuanya sangat personal, sosial, ekonomis, historis dan kosmis. Keragaman ini tidak hanya ke mana tujuan yang akan kita capai, melainkan juga dalam bagaimana cara kita menuju ke tujuan terakhir tersebut. Apa-apa saja jalan menuju ke keselamatan, kebahagiaan, auto-realisasi, dll? Akan ditemukan berbagai jawaban yang berbeda seperti; kesenangan, kekuatan, kekayaan, agama, pelayanan, kemartiran, asketisme dll.



Melihat keragaman bahasa dan ekspresi akan tujuan akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut, muncul sebuah pertanyaan: apakah ada suatu kesamaan atau kesatuan mendasar dari semua tujuan akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut? Apakah kita berbicara hal yang sama ketika kita menggunakan bahasa dan ekspresi “keselamatan”, “kebahagiaan”, “auto-realisasi”, “kebebasan integral” dll? Jawabannya sudah pasti tidak sama. Ketika seorang pribadi, pada saat memformulasikan  tujuan akhir seperti “membangun suatu persaudaraan yang lebih manusiawi”, maka pada saat yang sama secara jelas mengingkari dimensi transendental termasuk untuk orang lain seperti formula “keselamatan” atau “persatuan dengan Tuhan”.



http://cdn.pazoo.com
Namun demikian, di tengah perbedaan yang ada,  ada cara untuk mengatasi semua kontradikis atas doktrin-doktrin yang berbeda tersebut. Caranya adalah: mengembangkan masalah, tidak dalam level konsep atau dugaan tetapi dalam level pengalaman dan perjumpaan setiap orang dengan kenyataan hidupnya. Dalam perjumpaannya itu seorang manusia  akan memberikan atau tidak memberikan suatu jawaban yang vital dan efisien, atau juga mampu membawa  ke suatu sintesis personal, asli dan memuaskan. Keefektifan atau keefisiensian dari sintesis tidak akan ada dalam fungsi yang eksklusif dari kesahian suatu doktrin yang bisa menerangi realitas. Seseorang yang telah berteman dengan orang yang sangat “ortodoks” – dari titik pandang kaum “transendental”- telah melakukan kesombongan yang konyol berhadapan dengan kenyataan atau realitas. Perlu digarisbawahi bahwa di sini saya tidak bermaksud mengelak pentingnya doktrin-doktrin yang ada. Anda sedang bermain dengan suatu tugas krusial dalam pembentukan postur-postur vital kita yang juga di dalamnya termasuk suatu komponen teori. Tetapi tidak satupun teori, karena kehebatannya sekali pun, yang bisa menjamin suatu sintesis  berhadapan dengan kenyataan.



Kita menyadari sekarang bahwa secara obyektif, tujuan akhir hidup kita dijadikan sarana untuk  persatuan dengan orang lain. (Hal ini bisa diharapkan sebagai suatu “doktrin”, suatu opsi dan konsep yang fundamental). Jika demikian yang terjadi dengan kita, maka pertemuan –pertemuan kita dengan kenyataan mewajibkan kita untuk menghormati orientasi tujuan ini jika kita tidak ingin memperkosa kepribadian kita. Seseorang dapat memakukan paku pada piring terbuat dari porselin yang indah, tetapi akan terjadi bahaya besar bahwa kebahagiaan piring yang indah akan hancur.
 
Dari titik pandang ini, menjadi relatif kurang penting bagaimana seseorang merasakan tujuan-tujuan akhir dan intensi-intensi yang dimilikinya, dan yang menjadi lebih penting adalah bahwa seseorang menghormati kenyataan dari tujunan akhirnya. Tidak cukup dengan memiliki intensi-intensi atau teori yang baik untuk menjadi bahagia. Untuk menjadi bahagia adalah sangat dibutuhkan kepastian dan  efisiensi dalam hal bagaimana mengatur kenyataan dan menghormati bagaimana kita berlaku atau bertindak. (Benny Kalakoe, BSD, 22715)