Friday, October 2, 2015

MANUSIA PEZIARAH: FOTO TINGKAH LAKU (3)

Proses pembelajaran dalam dialog dengan kenyataan selalu direkam oleh “kamera foto” yang ada dalam diri manusia. “Kamera foto” manusia ini tidak dapat dibandingkan dengan kamera foto apapun yang ada dalam dunia teknologi sekarang ini, karena kamera ini tidak hanya menangkap apa yang dilihat, suara yang didengar tetapi juga menangkap “rasa afektif” dari pengalaman perjumpaan tersebut dalam sebuah arsip. 

Pengalaman perjumpaan dalam dialog dengan kenyataan yang direkam dalam sebuah “kamera foto” lama kelamaan membentuk sebuah sistem atau pola tertentu yakni sistem tingkah laku atau pola tingkah laku. Di sini sistem tingkah laku tersebut tidak hanya direkam dalam suatu pencatatan praktis karena tingkah laku tersebut berguna dan dibutuhkan tetapi juga memiliki kekuatan bahwa tingkah laku tersebut adalah baik dan diinginkan. 

“Kamera foto” kita manusia memiliki filter etika akan nilai-nilai dari tingkah laku yang sudah diarsipkan. Tidak ada tingkah laku yang diarsipkan (tanpa atau) jika tidak memuaskan suatu kebutuhan. Banyak ahli (psikologi) berdebat tentang “álbum” mental manusia yang memuaskan kebutuhan manusia. Banyak dari para ahli menyatakan bahwa “álbum” mental manusia juga memiliki foto yang sangat tidak menyenangkan dan bisa menjadi sumber penderitaan dan ketidakberesan dalam kehidupan manusia. Dalam kenyataannya manusia sangat gampang untuk menyimpan foto yang menyenangkan dan sulit untuk menyatakan mengapa kita harus memilihara atau menyimpan foto yang tidak efisien atau menyenangkan bagi kehidupan manusia. 

Dari berbagai polemik “álbum” mental manusia ini, kita bisa menggarisbawahi beberapa point penting tentang tingkah laku manusia, antara lain:
semua tingkah laku manusia, baik yang efektif ataupun tidak efektif, yang konstruktif maupun destruktif, sebenarnya sudah kita pelajari.
Tidak semua elemen yang muncul dalam album mental kita adalah efektif dan/ atau konstruktif, tetapi jika mereka ada di sana karena nampaknya bagi kita lebih baik atau kurang buruk untuk memeliharanya dalam album kita.
Jika kita telah mempelajari tingkah laku kita, termasuk hal-hal yang negatif, kita dapat mempelajari yang lain.
Persepsi kita akan dunia luar memberi terang kepada album mental dan nilai etika yang kita miliki. Dengan demikian, ketika memfokuskan tingkah laku orang lain kita melakukannya dengan “tinta/warna” dari nilai yang ada dalam kaca kamera kita. Karena inilah kadang-kadang kita menjawab diri kita sendiri dengan mengatakan tidak hanya tingkah laku orang lain berbeda dengan yang kita miliki, melainkan juga kadang-kadang mengatakan tingkah laku mereka adalah jahat / buruk atau tidak diinginkan.

Kesimpulan: kita telah mencoba untuk melihat afirmasi bahwa “kita tidak dilahirkan karena takdir melainkan dalam suatu proses menjadi”. Kepribadian kita adalah hasil dinamika antara dialog yang terus menerus dengan kenyataan di mana keduanya saling membentuk secara sempurna. Dialog memiliki sejarah baik personal maupun kolektif, di mana ada kemajuan dan kemunduran, periode-periode dengan intensitas kreatifitas dan juga kemandegan.

Sistem tingkah laku kita akan terus muncul dengan dialog dalam suatu proses pembelajaran yang pelan di mana kita memperhitungkan sumber-sumber yang kurang lebih otomatis dan spontan, teratur yang oleh Glasser disebut sebagai “saraf tua” dan dengan sumber-sumber yang lebih kompleks dan sadar, teratur menurut suatu struktur perkembangan yang lebih kemudian dalam proses perkembangan di sebut sebagai 
“saraf baru”.

Proses pembelajaran akan tingkahlaku adalah suatu ujian: mari kita mengeneralisir tingkah laku dalam suatu jawaban akan sensasi ketidaknyamanan, kesempatan yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan atau harmoni dalam tubuh dengan relasinya dengan dunia yang mengitarinya. Tujuan dari tingkah laku seperti ini adalah pemuasan suatu kebutuhan yang sedang dialami.

Ketika suatu tingkah laku sampai pada tingkat memuaskan kebutuhan dan mengembalikan keadaan yang seimbang, album mental kita merekamnya dalam tingkah laku dan obyek pemuasan sebagai suatu elemen yang lebih dari kotak perkakas atau sistem tingkah laku kita.

Kita telah melihat beberapa karakter dari “kamera” kita:
Bisa mengambil berbagai macam “pose” dari obyek yang sama (kebutuhan): beberapa tingkah laku dan obyek yang memuaskannya kebutuhan yang sama.
Juga menangkap perasaan-perasaan yang menemani apa yang difoto.
Juga menempatkan nilai etika dalam semua tingkah laku itu.

Kita juga telah membedakan antara apa itu kebutuhan dan keinginan, sambil menekankan supaya tidak dipusingkan oleh dua konsep tersebut, yang bisa membuat kita berada dalam suatu identifikasi lurus dan menghancurkan.

Titik pusat semua tulisan di atas adalah semua tingkah laku sudah dipelajari. Itu berarti jika kita bisa mempelajari tingkah laku kita maka kita bisa mempelajari yang lainnya.

No comments:

Post a Comment