Wednesday, February 12, 2020

PRAKSIS PENDIDIKAN KEBANGSAAN



Pentingnya Pendidikan Dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Sejak zaman penjajahan, Indonesia sudah memiliki gagasan kemerdekaan. Namun gagasan kemerdekaan tersebut masih bersifat kedaerahan dan biasanya ditempuh dengan cara “kekerasan” yakni berperang melawan penjajah. Tidak mengherankan gagasan kemerdekaan itu dengan mudah digagalkan oleh penjajah selama beratus-ratus tahun. Namun sejak tanggal 20 Mei 1908 dengan didirikannya Budi Utomo, arah gagasan kemerdekaan mengambil pola yang berbeda. Para pendiri Budi Utomo melihat bahwa gagasan dan gerakan kemerdekaan sesungguhnya harus dimulai dengan pendidikan yakni mengutamakan budi.

Pendidikan yang membebaskan inilah yang kemudian berkembang, lalu membuat para pemuda memiliki gagasan Negara Kebangsaan Indonesia lewat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, ketika seluruh pulau di Nusantara ini didaulat menjadi satu bangsa, satu tumpah darah, dan satu bahasa yakni Indonesia. Hanya dalam waktu 20 tahun, pendidikan dengan gagasan kemerdekaan dan gerakan kemerdekaan menemukan jalannya, yaitu dalam kebersamaan atau persatuan, maka kemerdekaan itu bisa diraih.

Akhirnya 17 tahun setelah Sumpah Pemuda, lahirlah Negara Kebangsaan Republik Indonesia ketika Soekarno dan Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Hanya dalam waktu 37 tahun,  Indonesia bisa merdeka dengan mengutamakan cara kerja budi atau pendidikan.

Peristiwa berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia ini, tidak terlepas dari pentingnya pendidikan kebangsaan yang dikembangkan dalam berbagai organisasi masyarakat sejak Budi Utomo sampai dengan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Kenyataan historis peran pendidikan yang memerdekakan bangsa Indonesia merupakan sebuah tonggak sejarah yang tidak bisa dilupakan sampai sekarang ini. “Pendidikan kebangsaan” merupakan sebuah keharusan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan.

Pendidikan Kebangsaan

Pendidikan kebangsaan umumnya berbicara tentang pentingnya peranan negara atau bangsa dalam kehidupan bermasyarakat. Di sana dipelajari hal-hal yang berhubungan dengan dasar negara, tujuan bernegara, nasionalisme, etika bernegara, identitas nasional dan sebagainya. Tujuan pendidikan kebangsaan umumnya menyadarkan masyarakat akan pentingnya peranan negara dalam kehidupan masyarakat dan mengajak masyarakat untuk melibatkan diri secara aktif dalam membangun bangsa dan negara.

Bagi kita di Indonesia pendidikan kebangsaan harus berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dan diarahkan untuk meraih tujuan NKRI. Tujuan NKRI tertera dalam UUD 1945 alinea keempat yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Ketika keempat tujuan NKRI tersebut tercapai itu berarti pendidikan kebangsaan kita berhasil.

Namun akhir-akhir ini, kita diguncang oleh berbagai isu yang menunjukkan lemahnya praksis pendidikan kebangsaan dalam kehidupan berbangsa.  Aksi-aksi seperti korupsi, penggunaan sentimen rasial untuk memperoleh kursi kekuasaan memerintah, terorisme dan berbagai bentuk kegiatan fundamentalisme, merupakan akibat dari lemahnya peran pendidikan dalam membangun nilai-nilai wawasan kebangsaan. Ada banyak alasan yang membuat aksi-aksi kejahatan dalam kehidupan bernegara tersebut muncul, misalnya pengaruh globalisasi, ketidakadilan sosial, ajaran fundamentalisme dan sebagainya. Namun harus disadari bahwa semua hal tersebut hanya bisa diatasi kalau kita memiliki pendidikan wawasan kebangsaan yang mengayomi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Gereja Katolik dan Pendidikan Kebangsaan Indonesia

Sebagai orang Katolik di Indonesia , mungkin kita sudah sering mendengarkan semboyan ini: 100% Indonesia dan 100% Katolik. Mgr Soegijapranata, SJ, mencanangkan ide tersebut dengan tujuan sederhana yakni mengajak orang Indonesia yang Katolik, menjadi Gereja Katolik Indonesia.

Mengapa Gereja Katolik Indonesia? Jawabannya sederhana: karena nilai-nilai kekatolikan itu juga sudah ada dalam masyarakat bangsa Indonesia.  Nilai-nilai kekatolikan itu sudah ada dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945 seperti percaya kepada Tuhan, penghormatan dan penghargaan atas kemanusian, penghormatan atas identitas nasional, dan  demokrasi yang dibangun di atas kebenaran dan keadilan sosial. Tidak mengherankan apabila Mgr. Ignasius Suharyo dalam Arahan Dasar KAJ mengangkat tema “Amalkan Pancasila” supaya umat Katolik KAJ yang juga warga negara Indonesia memahami, merenungkan, dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila tersebut yang juga merupakan nilai-nilai kekatolikan kita dalam pendidikan kebangsaan kita.

Dalam Surat Gembala mengawali Tahun Persatuan (2018) “Kita Bhinneka-Kita Indonesia”, Mgr. Ignatius Suharyo bertanya: “Apa yang harus kita lakukan agar kita dapat mengalami penampakan Tuhan dalam hidup kita bersama sebagai warga Gereja KAJ yang adalah persekutuan murid-murid Yesus dan sebagai warga negara Indonesia?” Pertanyaan ini dijawab dalam kalimat berikutnya : “Salah satu cara untuk merawat ingatan bersama dan mewujudkan tanggung jawab sejarah adalah dengan mengamalkan Pancasila”.

Selanjutnya dalam surat gembala yang sama dinyatakan: “Dalam semboyan “Kita Bhinneka-Kita Indonesia”, terkandung berbagai macam gagasan. Kita ingin agar berbagai macam gagasan itu diterjemahkan menjadi gerakan yang membaharui kehidupan. Kalau gerakan-gerakan ini dilakukan secara terus menerus dan konsisten, akan terbentuklah habitus baru, yaitu cara merasa, cara berpikir, cara bertindak dan berperilaku baru, baik dalam tataran pribadi maupun bersama, dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas”

Berbicara tentang gagasan yang ditransformasikan dalam gerakan pembaharuan sehingga terbentuklah habitus baru merupakan esensi dari pendidikan, termasuk “Pendidikan Kebangsaan”.  Bagaimana ‘gagasan’ kebangsaan Indonesia itu ditransformasikan dalam sebuah ‘gerakan pembaharuan’ yang didasarkan pada pengamalan Pancasila dan UUD 1945 bisa menciptakan ‘habitus baru’ menuju tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercantum dalam Alinea 4 UUD 1945.

Mgr. Ignatius Suharyo, dalam bukunya “Catholic Way”, terbitan Kanisius, 2010, menyatakannya dengan cara lain, bahwa seorang Warga Negara Indonesia yang beragama Katolik, justru  karena imannya, bergerak melibatkan diri dalam kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia khususnya yang kecil lemah miskin, tersingkir dan difabel. Sikap yang ideal itu harus kita usahakan secara pribadi maupun bersama pada segala jenjang. Kita mesti bekerjasama dengan semua pihak yang berkehendak baik untuk mewujudkan masyarakat manusia yang makin bermartabat, adil dan sejahtera bersama.

Bagi orang Katolik Indonesia, tokoh sentral praksis pendidikannya adalah Yesus Kristus itu sendiri. Pada saat perjamuan terakhir setelah membasuh kaki para muridnya Yesus berkata, “…sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Hukum utama dalam kehidupan sosial yang diajarkan Yesus adalah cinta kasih. Cinta kasih itu diwujudkan dalam apa yang disebut sebagai pekerjaan-pekerjaan belas kasih (the works of mercy). Pekerjaan-pekerjaan belas kasih itu nyata dalam praksis memberi makan kepada mereka yang miskin, memberi minum kepada mereka yang haus, memberi makan kepada mereka yang telanjang, mengunjungi mereka yang dipenjara, memberikan penginapan bagi mereka yang tidak punya rumah, mengunjungi mereka yang sakit (Lihat Yesaya 58:7 / Injil Matius  25: 31-32, 34-40).

Kalau ditanya bagaimana keterlibatan kita sebagai orang Katolik dalam Pendidikan Kebangsaan Indonesia?  Jawabannya sederhana! Teruslah terlibat dalam perbuatan atau pekerjaan belas kasih seperti yang Yesus ajarkan, yang juga sudah ada dalam konteks sosial masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di manapun kita berada. Semua aksi kejahatan sosial dalam kehidupan bernegara seperti kolusi, korupsi, nepotisme, fundamentalisme, terorisme hanya dapat diatasi di negara ini kalau kita mengembangkan pendidikan kebangsaan yang keluar dari pemberian hati (almsgiving) lewat pekerjaan-pekerjaan belas kasih di mana pun kita berada seperti yang dilakukan oleh Orang Samaria Yang Baik Hati.

Pendidikan kebangsaan bagi kita orang Katolik berarti kita diajak untuk mengikuti Yesus dalam konteks masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan berbagai bentuk perbuatan atau pekerjaan belas kasih yang dibangun dari hati yang penuh kasih kepada seluruh masyarakat Indonesia, terutama mereka yang miskin, tersingkirkan dan tidak mampu. Hendaknya semua keterlibatan orang Katolik dalam berbagai kegiatan ekonomi, politik dan kemasyarakatan di negara ini tidak pernah terlepas dari pekerjaan belas kasih seperti yang Yesus ajarkan. Semoga! 

Salam. 
Benny Kalakoe.
















Friday, October 2, 2015

MANUSIA PEZIARAH: FOTO TINGKAH LAKU (3)

Proses pembelajaran dalam dialog dengan kenyataan selalu direkam oleh “kamera foto” yang ada dalam diri manusia. “Kamera foto” manusia ini tidak dapat dibandingkan dengan kamera foto apapun yang ada dalam dunia teknologi sekarang ini, karena kamera ini tidak hanya menangkap apa yang dilihat, suara yang didengar tetapi juga menangkap “rasa afektif” dari pengalaman perjumpaan tersebut dalam sebuah arsip. 

Pengalaman perjumpaan dalam dialog dengan kenyataan yang direkam dalam sebuah “kamera foto” lama kelamaan membentuk sebuah sistem atau pola tertentu yakni sistem tingkah laku atau pola tingkah laku. Di sini sistem tingkah laku tersebut tidak hanya direkam dalam suatu pencatatan praktis karena tingkah laku tersebut berguna dan dibutuhkan tetapi juga memiliki kekuatan bahwa tingkah laku tersebut adalah baik dan diinginkan. 

“Kamera foto” kita manusia memiliki filter etika akan nilai-nilai dari tingkah laku yang sudah diarsipkan. Tidak ada tingkah laku yang diarsipkan (tanpa atau) jika tidak memuaskan suatu kebutuhan. Banyak ahli (psikologi) berdebat tentang “álbum” mental manusia yang memuaskan kebutuhan manusia. Banyak dari para ahli menyatakan bahwa “álbum” mental manusia juga memiliki foto yang sangat tidak menyenangkan dan bisa menjadi sumber penderitaan dan ketidakberesan dalam kehidupan manusia. Dalam kenyataannya manusia sangat gampang untuk menyimpan foto yang menyenangkan dan sulit untuk menyatakan mengapa kita harus memilihara atau menyimpan foto yang tidak efisien atau menyenangkan bagi kehidupan manusia. 

Dari berbagai polemik “álbum” mental manusia ini, kita bisa menggarisbawahi beberapa point penting tentang tingkah laku manusia, antara lain:
semua tingkah laku manusia, baik yang efektif ataupun tidak efektif, yang konstruktif maupun destruktif, sebenarnya sudah kita pelajari.
Tidak semua elemen yang muncul dalam album mental kita adalah efektif dan/ atau konstruktif, tetapi jika mereka ada di sana karena nampaknya bagi kita lebih baik atau kurang buruk untuk memeliharanya dalam album kita.
Jika kita telah mempelajari tingkah laku kita, termasuk hal-hal yang negatif, kita dapat mempelajari yang lain.
Persepsi kita akan dunia luar memberi terang kepada album mental dan nilai etika yang kita miliki. Dengan demikian, ketika memfokuskan tingkah laku orang lain kita melakukannya dengan “tinta/warna” dari nilai yang ada dalam kaca kamera kita. Karena inilah kadang-kadang kita menjawab diri kita sendiri dengan mengatakan tidak hanya tingkah laku orang lain berbeda dengan yang kita miliki, melainkan juga kadang-kadang mengatakan tingkah laku mereka adalah jahat / buruk atau tidak diinginkan.

Kesimpulan: kita telah mencoba untuk melihat afirmasi bahwa “kita tidak dilahirkan karena takdir melainkan dalam suatu proses menjadi”. Kepribadian kita adalah hasil dinamika antara dialog yang terus menerus dengan kenyataan di mana keduanya saling membentuk secara sempurna. Dialog memiliki sejarah baik personal maupun kolektif, di mana ada kemajuan dan kemunduran, periode-periode dengan intensitas kreatifitas dan juga kemandegan.

Sistem tingkah laku kita akan terus muncul dengan dialog dalam suatu proses pembelajaran yang pelan di mana kita memperhitungkan sumber-sumber yang kurang lebih otomatis dan spontan, teratur yang oleh Glasser disebut sebagai “saraf tua” dan dengan sumber-sumber yang lebih kompleks dan sadar, teratur menurut suatu struktur perkembangan yang lebih kemudian dalam proses perkembangan di sebut sebagai 
“saraf baru”.

Proses pembelajaran akan tingkahlaku adalah suatu ujian: mari kita mengeneralisir tingkah laku dalam suatu jawaban akan sensasi ketidaknyamanan, kesempatan yang disebabkan oleh tidak adanya keseimbangan atau harmoni dalam tubuh dengan relasinya dengan dunia yang mengitarinya. Tujuan dari tingkah laku seperti ini adalah pemuasan suatu kebutuhan yang sedang dialami.

Ketika suatu tingkah laku sampai pada tingkat memuaskan kebutuhan dan mengembalikan keadaan yang seimbang, album mental kita merekamnya dalam tingkah laku dan obyek pemuasan sebagai suatu elemen yang lebih dari kotak perkakas atau sistem tingkah laku kita.

Kita telah melihat beberapa karakter dari “kamera” kita:
Bisa mengambil berbagai macam “pose” dari obyek yang sama (kebutuhan): beberapa tingkah laku dan obyek yang memuaskannya kebutuhan yang sama.
Juga menangkap perasaan-perasaan yang menemani apa yang difoto.
Juga menempatkan nilai etika dalam semua tingkah laku itu.

Kita juga telah membedakan antara apa itu kebutuhan dan keinginan, sambil menekankan supaya tidak dipusingkan oleh dua konsep tersebut, yang bisa membuat kita berada dalam suatu identifikasi lurus dan menghancurkan.

Titik pusat semua tulisan di atas adalah semua tingkah laku sudah dipelajari. Itu berarti jika kita bisa mempelajari tingkah laku kita maka kita bisa mempelajari yang lainnya.

Thursday, October 1, 2015

MANUSIA PEZIARAH: PROSES PEMBELAJARAN DIALOG DENGAN KENYATAAN (2)


Bagaimana menyatakan secara konkret dialog ini? Asal dari repertoir tingkahlaku kita bermula dari kontak-kontak awal kita dengan dunia yang mengelilingi kita. Di luar apa yang dikatakan oleh para ahli bahwa kehidupan sebelum kita lahir bisa membentuk dan mengajar kita, di sini kita membatasi diri kita pada proses yang dimulai sejak perjumpaan pertama kita dengan kenyataan, langsung setelah kita lahir.

Di sini saya ingin mengembangkan konsep dari William Glasser, dalam bukunya “Control Theory”, dan membagikannya kembali kepada para pembaca dengan pendalaman pemahaman sesuai yang saya ingin kembangkan.

Kontak pertama dari mereka yang baru saja lahir ditemukan dalam suatu kenyataan yang secara praktis tidak berdaya. Dibandingkan dengan binatang, seorang manusia yang baru saja lahir memiliki sumber daya yang sangat kurang untuk berhadapan dengan linkungan yang mengitarinya. Petunjuk biologis binatang lebih cepat  dan memiliki daya instingtif yang lebih besar yang membuatnya lebih independen daripada seorang manusia. Ketidakberuntungan manusia ini akan dikompensasikannya kemudian hari, dalam kemampuannya untuk  berkembang, mengadaptasikan dirinya dan mentransformasikan dunianya.

Tetapi harus disadari bahwa perjumpaan pertama seorang manusia yang barus saja lahir berhadapan secara fundamental dengan kebutuhannya untuk bertahan hidup, kepemilikan, kekuatan/kekuasaan, dengan suatu kondisi minimum dan juga termasuk dimulainya refleks, reaksi spontan dan berfungsinya elemen-elemen dasar seperti bernafas, sirkulasi udara dll,  yang semuanya diatur. Semua hal tersebut disebut oleh Glasser sebagai “saraf tua”.

“Saraf tua” ini adalah sekumpulan struktur perkembangan manusia dalam sebuah proses yang terletak di bagian paling atas dari tulang punggung. “Saraf tua” memiliki dan memberikan kemampuan untuk bekerja secara otomatis terhadap fungsi-fungsi vital  kehidupan manusia, tanpa harus memberikan perhatian khusus kepada mereka. Bisa dibandingkan dengan sebuah komputer yang terpogram dan bisa diprogramkan. Seperti komputer, dia tidak memiliki kesadaran dan kehendaknya sendiri.

“Saraf tua” akan mentaati semua aturan yang secara progresif terus menerus berkembang dalam “saraf baru” di mana kesadaran bertahta yang sering kita sebut “memori” (yang sangat berbeda dengan memori sebuah komputer). Memori manusia akan terus menerus mengarsipkan  semua tingkah laku atau sikap  yang akan terus dipelajari.

Apa yang terjadi dalam pertemuan atau dialog dengan kenyataan yang  bisa memprovokasi kebutuhan manusia untuk belajar?

Berhadapan dengan kenyataan (dunia), pribadi yang baru saja lahir mengalami beberapa seri sensasi. Semuanya ini dapat menyenangkan, jika ada harmoni dan keseimbangan dalam dirinya sendiri dan dalam relasinya dengan dunia di luarnya. Ketika keseimbangan ini tidak ada (sensasi kedinginan, lapar, iritasi, sakit dll), maka semua yang tidak mengenakkan tersebut memberikan sinyal peringatan ke “saraf tua” supaya dibangun suatu keseimbangan.

Seorang anak manusia yang baru lahir mulai menghasilkan tingkah laku atau sikap untuk menghadapi kenyataan yang tidak baik dan mengembalikan keseimbangan yang telah hilang melalui tangisan, tangan yang mengepal dll. Semua tingkah laku ini membutuhkan suatu jawaban pemuasan: seseorang terpaksa mencari sumber-sumber yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu keseimbangan (makanan, kehangatan, meringakan ketidakenakan dan ketidakbaikan). Sumber-sumber keseimbangan ini adalah sumber-sumber yang oleh anak yang baru lahir tidak dapat disediakan oleh dirinya sendiri.

Ketika suatu tingkah laku mendapat jawaban dengan hasil yang memuaskan, maka tingkahlaku, obyek yang memuaskan kebutuhan dan proses mengembalikan keseimbangan tersebut, direkam dalam arsip sebagai alat atau perkakas yang berguna bagi masa depan. Glaser menggunakan suatu perbandingan dengan mengatakan “album fotografi dari kebutuhan dan keinginan”.

Setiap kebutuhan bisa memiliki berbagai bentuk foto yang berbeda, karena tingkah laku yang berbeda bisa memiliki berbagai obyek yang berbeda untuk pemuasannya. Sebagai contoh, kebutuhan untuk meringankan kelaparan dapat dipuaskan dengan makan pisang di rumah saya, atau berjalan ke sebuah toko roti dan membeli roti, atau saya pergi ke rumah seorang teman untuk makan siang. Dalam hal ini seseorang akan memiliki tiga bentuk foto,(pisang-rumah, roti – toko roti, makan- rumah teman) untuk suatu kebutuhan yang sama (lapar).

Semua foto ini akan terus terorganisasi dalam suatu sistem yang kompleks akan tingkah laku yang membentuk “kotak perkakas” untuk melakukan suatu pekerjaan untuk menghadapi semua kebutuhan.

Adalah penting untuk membedakan antara “kebutuhan” dan “keinginan”. Sekali kita mengkopi “foto” dari suatu sikap dan obyek yang memuaskan kebutuhan itu, sejak saat itu kita ingin atau mau bahwa obyek itu, ketika saya butuhkan dia akan ada. Identifikasi ini bisa membuat kita rusak atau tidak baik ketika obyek yang sudah ditentukan itu tidak bisa kita dapatkan atau tidak bisa memuaskan kebutuhan kita. Contoh klasik dari kenyataan ini adalah lelaki atau perempuan yang sedang putus cinta. Romeo jatuh cinta sama Juliet. Dalam bahasa yang sudah kita gunakan, kebutuhan akan cinta dari Romeo telah terpenuhi atau terpuaskan dengan suatu pendekatan dan jatuh cinta (tingkah laku/sikap) kepada Juliet (obyek, maaf kepada Juliet). Foto ini (Romeo mengatakan “darling” kepada Juliet) sudah ada di dalam album. Jika Juliet berkomunikasi dengan Romeo yang sudah tidak lagi tertarik dengan perkembangan cintanya, Romeo bisa membuat suati identifikasi yang berbahaya bahwa “kebutuhan akan cinta” sama dengan “jatuh cinta” kepada Juliet. Konsekwensinya: kehilangan Juliet, tidak akan membuatnya lagi jatuh cinta kepada siapa pun. Bisa jadi jalan keluar adalah minum racun atau lompat dari gedung bertingkat.

Dalam kasus ini, menjaga perbedaan antara kebutuhan (cinta) dan keinginan (suatu keterikatan afektif dengan Juliet) bisa membantu Romeo untuk melihat bahwa kebutuhannya bisa dipenuhi atau terpuaskan melalui tingkah laku atau obyek yang lain.

Wednesday, September 30, 2015

MANUSIA PEZIARAH: DIALOG DENGAN KENYATAAN (1)


Dari tulisan-tulisan sebelumnya kita sampai pada kesimpulan bahwa manusia itu memilih “untuk menjadi” dan “bukan ditakdirkan”. Inilah dasar yang membedakan manusia dengan ciptaan-ciptaan lainnya.

Dalam kontaknya dengan lingkungan dan sesama, manusia mencari pemuasan atau pemenuhan kebutuhan hidup berdasarkan “petunjuk” biologis yang dimilikinya saat dia berbagi dengan sesamanya atau lingkungannya. “Tulisan” interaksi tersebut membentuk sebuah pola atau petunjuk original yang membentuk seorang manusia. Petunjuk original atau pola interaksi ini, yang dimiliki secara pribadi, yang terintegrasi dalam suatu sintesis biologis itulah yang disebut sebagai kepribadian.

Dengan demikian, kepribadian sebenarnya adalah hasil dari suatu “dialog” antara seorang pribadi dengan kenyataan. Kenyataan mengatakan kepada seorang pribadi berbagai hal: data-data yang tidak dapat diubah dan data-data yang menantang seseorang dan meminta jawaban; batasan-batasan yang jelas dan perbatasan yang bergerak bebas. “Suara” dari kenyataan terwujud dalam struktur fisik dan sosial; yang tiba ke kita dengan berbagai macam media. Pengaruhnya membatasi dan membentuk, tetapi juga bisa membuka kemungkinan, mengundang dan menantang seseorang bisa membatasi atau menghidupkan seseorang.

Sebaliknya, seorang pribadi “mengatakan” sesuatu kepada kenyataan berdasarkan kreativitas yang dimilikinya sendiri, suatu kemampuan untuk mentransformasikan situasi-situasi dan bisa memindahkan batasan-batasan atau melompati keterbatasan yang ada pada dirinya sendiri. Hal-hal yang dikatakan di atas oleh seorang pribadi dikorporasikan dalam suara dari kenyataan untuk terus berdialog.

Dialog ini memiliki sejarah, baik sejarah pribadi ke pribadi maupun pribadi dengan kelompok. Dalam level pribadi ke pribadi, setiap orang akan terus mempelajari semua jawaban-jawaban yang dibuatnya. Di sini dia akan terus menciptakan kebiasaan-kebiasaan, gaya dan cara-cara yang spesial untuk berreaksi dengan kenyataan. Disini dihasilkan suatu perkembangan atau kemandegan. Disini akan ditemukan trauma-trauma dan penyembuhan-penyembuhannya. Setiap orang akan terus menciptakan suatu repertoir dari tingkah laku yang mengijinkan untuk berreaksi terhadap berbagai tuntutan yang dialaminya dalam perjumpaan dengan kenyataan.

Dialog juga adalah suatu sejarah kolektif: suatu kumpulan tingkah laku dari sekelompok manusia yang terus membentuk suatu budaya. Semua yang dipelajari di sini nantinya dibagikan dan diciptakan dalam norma-norma, tradisi-tradisi dan alat-alat. “Arsip budaya” ini mengijinkan suatu generasi untuk membangun di atas apa yang sudah dibangun generasi sebelumnya. Kita tidak perlu lagi melihat bagaimana proses dan penemuan bagaiamana menggunakan api dalam setiap generasi. Sama seperti dalam dialog pribadi dengan pribadi, dalam dialog pribadi dengan kelompok tertentu akan menciptakan perkembangan, pembelokan, tradisi-tradisi yang kaku bahkan revolusi yang inovatif dll.